PEMANFAATAN LAHAN SUB OPTIMAL
DALAM MENDUKUNG
PRODUKTIVITAS PANGAN TANAH AIR
*) Julkhaidar
Romadhon
WIB : EDISI 5/XXXX/2012
Upaya peningkatan produktivitas pangan perlu didukung dengan ketersediaan
lahan
yang harus tetap memadai.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menandatangani Kesepakatan pangan di Roma yang
bertajuk “Rome Declaration on World Food Security and world food summit 1994” yang
juga ditandatangani oleh 112 kepala negara atau pejabat tinggi dari 186 negara
peserta. Inti pertemuan ini berisikan
pemberian penekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan
kebutuhan pangan secara cukup) dan perlunya aksi bersama antar negara untuk
mengurangi kelaparan.
Kelaparan
merupakan musuh bersama semua negara di dunia ini termasuk Indonesia.
Gejala-gejala kelaparan tersebut seolah-olah akan menjadi kenyataan di negeri
kita ini. Hal ini terlihat dari ketergantungan pangan kita dari luar negeri
alias impor yang dicerminkan lewat neraca perdagangan pertanian. Neraca
perdagangan pertanian Indonesia secara agregasi selalu surplus, walau terdapat
ketidakseimbangan kontribusi antar subsektor yang mendongkrak kinerja sektor
tersebut.
Surplus
terjadi karena dukungan membaiknya kinerja sub sektor perkebunan terutama kelapa
sawit, akan tetapi di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, dan perternakan
masih mengalami defisit dengan masih diimpornya beberapa produk utamanya dengan
nilai yang cukup signifikan. Dibukanya kran impor pada saat produk
domestik melimpah berimplikasi pada menurunnya pendapatan petani sekaligus
melemahkan spirit menuju ketahanan pangan.
Upaya
peningkatan produktivitas pangan perlu didukung dengan ketersediaan lahan yang
harus tetap memadai di tengah banyaknya lahan tanaman pangan produktif beralih
fungsi menjadi areal komoditi perkebunan dan kegiatan non pertanian.
Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan, baik milik sendiri atau menyewa,
yang luasnya kurang dari 0,5 hektar cenderung meningkat. Terjadi
kesenjangan antara petani pangan yang lahannya cenderung menyempit dan terpecah
dengan petani atau pengusaha di sub sektor pekebun memiliki lahan yang
luas. Keterbatasan modal dan akses pasar dengan posisi tawar yang lemah
bahkan terjerat dengan sistem ijon pada petani pangan gurem berimpilikasi kepada
rendahnya penggunaan input produksi, modal, produktivitas usahatani pangan dan
kesejahteraan petani.
KINERJA SUBSEKTOR PANGAN TANAH AIR
Menurut data
BPS, pertumbuhan luas panen komoditas utama tanaman pangan dari tahun 1968-2011
untuk padi 1,21%, jagung 1,99% dan kedelai 0,93% ini menunjukkan bahwa selama
43 tahun rata-rata pertumbuhan luas panen hanya berkisar 1-2% saja. Sedangkan
pertumbuhan produktivitas komoditas utama tanaman pangan dari tahun 1968-2011,
untuk padi 2,38%, jagung 3,68% dan kedelai 1,89%. Ini menunjukkan juga bahwa
selama 43 tahun rata-rata pertumbuhan produktivitas hanya 2-3% saja.
Sedangkan
sasaran produksi yang ditargetkan pemerintah dari tahun 2012-2014, yaitu pada
tahun 2012 untuk padi 67,8 jt ton,
jagung 24 jt ton dan kedelai 1.9 jt ton. Tahun 2013 untuk padi 72 jt ton,
jagung 26 jt ton, dan kedelai 2.25 jt ton dan tahun 2014, untuk padi 76,5 jt
ton, jagung 29 jt ton dan kedelai 2,7 jt ton. Jika target pada tahun 2012
tercapai, maka tambahan produksi untuk tahun 2014 maka untuk padi 8,7 jt ton
GKG, jagung 5 jt ton PK (pipilan kering) dan kedelai 0,85 jt ton.
Target
tersebut sangatlah berat mengingat pertambahan laju penduduk yang sangat cepat
serta beragamnya tantangan pada subsektor tanaman pangan ini terutama padi.
Tantangan tersebut antara lain yaitu luas lahan yang semakin berkurang,
kompetisi dengan sektor lain (tenaga kerja), produksi tanaman padi yang
melandai, kebutuhan pangan yang meningkat dan ketergantungan terhadap pangan
utama yaitu padi yang hampir 90%.
PEMANFAATAN LAHAN SUB OPTIMAL
Pemerintah
telah memprogramkan ekstensifikasi pertanian pangan yang dilakukan pada lahan
sub optimal (LSO) yang terlantar, tidak produktif dan marjinal. Pengelolaan
agribisnis pada lahan tersebut harus menyeimbangkan antara kemandirian pangan,
peningkatan taraf hidup petani dan pelestarian lingkungan yang rendah emisi.
Perluasan tanaman pangan dapat merupakan momentum reformasi agraria dengan
mendistribusikan lahan kepada petani kecil dengan pengelolaan sistem korporasi
yang berkeadilan bagi para pihak yang ikut sebagai mitra usaha, layaknya
seperti sistem pengelolaan agribisnis tanaman pangan di negara-negara maju.
Menurut data yang dimiliki Kementerian Riset
dan Teknologi, Lahan
sub optimal atau lahan marginal/ lahan tidak subur berpotensi untuk
dioptimalkan. Secara nasional lahannya sangat luas termasuk didalamnya lahan
rawa dan lahan kering. Untuk lahan rawa saja sekitar 33,4 juta hektar mulai
dari Sumatera, Kalimantan, sulawesi dan daerah Papua. Dari total lahan sebanyak
58 juta hektar hanya sekitar 18
persen pertanian Indonesia yang
tergolong subur dan dioptimalkan, selebihnya merupakan lahan sub optimal dengan
kendala agronomis beragam. Sedangkan teknologi budidaya di Indonesia didominasi
penerapan di lahan optimal (hampir 90% lahan yang dimanfaatkan lahan sawah
irigasi).
Lahan sub optimal atau lahan yang tidak subur
memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda, yang terdiri antara lain :
Lahan Kering
a. Lahan kering dengan kemiringan 0±15%
didominasi oleh tanah podzolik merah kuningotisol/inceptisol. Tanah ini kurang
menguntungkan bagi pertanian, karena : berekasi masam, kadar UH rendah, KTK
kendah, daya simpan air rendah, struktur&tekstur tanah tidak stabil
sehingga mudah erosi.
b. Masalah yang dihadapi pada lahan kering, yaitu
ketersediaan air, kondisi lahan, keterbatasan teknis petani, sarana prasarana,
kelembagaan pemerintah terbatas, teknologi pertanian belum berkembang dan
lain-lain.
Lahan rawa pasang surut
a. Kendala pada lahan basah; pH tanah masam keracunan Fe dan Al, lapisan
gambut yang tebal dan belum matang.
b. Produktivitas tanaman rendah, resiko kegagalan
tinggi, tingkat keberlanjutan rendah, tingginya input pupuk kimia dan
pestisida, diversitas organisme dan musuh alami serta ketahanan ekosistem
lemah.
STRATEGI
PEMANFAATAN LAHAN SUB OPTIMAL
Menurut Nageswaran, et al., (2009), diperlukan
perubahan paradigma sistem usaha tani yaitu dari paradigma green revolusion ke
paradigma evergreen revolution yang pada akhirnya menghasilkan sistem pertanian
terpadu (SPT). Green revolution dimana identik dengan pertanian modern yang bercirikan
antara lain; orientasinya masih ke produksi (komoditi), tanamannya
monokultur, tergantung pada pupuk dan
pestisida sintetis, diversitas ekosistem rendah, knservasi rendah, bertumpu pada
pemodal dan padat modal (capital intensive).
Sedangkan paradigma evergreen revolution
identik dengan pertanian ramah lngkungan yang bercirikan antara lain;
intergrasi sumber daya yang ada, tanamannya sudah polikultur, pemakaian input
luar yang rendah, diversitas ekosistem tinggi, kesetaran (keseimbangan sosial)
dan padat tenaga kerja (labor intensive). Konsep pertanian evergreen revolution
inilah yang akhirnya melahirkan konsep sistem pertanian terpadu.
Hasil nyata dari konsep sistem pertanian
terpadu ini yaitu apa yang sudah diterapkan di sumatera selatan dengan
proyeknya Agro Tekno Park (ATP), Petani disana mendapatkan keuntungan 2-5
juta/ha, nilai R/C ratio 1,65. Selama 6 tahun penerapan SPT, produksi jagung
meningkat dari 2,1 ton/ha pada tahun ke I menjadi 5,18 ton/ha tahun ke IV dan
5,79 ton/ha pada tahun ke V. Kesuburan tanah, kandungan C-Organik, C/N rasio,
hara P dan Ca, sementara kandungan hara N dan K tidak mengalami perubahan.
Daerah lainnya yang menerapkan konsep ini
terlihat di daerah pasang surut di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, yang
menerapkan sistem pertanian terpadu padi-kedelai-sayur-sayuran dimana
produksinya meningkat seperti kedelai 0,45t/ha (13,3%), padi 1,2 t/ha (44,4%),
jagung sebesar 1,1 t/ha (26,2%%), kacang panjang sebesar 0,75 t/ha (15%), dan
ternak sebesar 37 kg per siklus pemeliharaan.
Begitu juga dengan desa Sangiang, kec
Banjaran, Majalengka Jawa Barat yang mana pendapatan petani meningkat hingga
40%, efisiensi penggunaan hijauan makanan ternak 4-5 kali lipat. Dalam waktu 4 bulan, tiap 5
sapi potong menghasilkan 6,6 ton kotoran sapi yang dapat menghasilkan 2,6 ton
pupuk kompos kandang matang, yang mampu memenuhi pupuk organik bagi 1 hektar lahan
jagung. Desa Suabak Guama, Marga Tabanan
Bali juga menerapkan konsep serupa dan menunjukkan hasil peningkatan yang
serupa.
TEKNOLOGI
TERAPAN DI LAHAN SUB OPTIMAL
Untuk teknologi yang digunakan harus
disesuaikan penggunaannya dengan lahan sub optimal, karena teknologi yang tidak
efisien tidak akan bermanfaat bagi masyarakat dan tidak bisa meningkatkan
penghasilan para petani. Teknologi yang dianjurkan adalah teknologi yang
spesifik lokasi dimana teknologi ini harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat sehingga penggunaannya akan efisien dan tidak mubazir.
Pada tahun-tahun mendatang
peningkatan produktivitas tidak hanya diarahkan pada lahan yang optimal
(irigasi), tetapi juga pada lahan sub optimal seperti lahan sawah tadah hujan,
lahan kering dan lahan rawa lebak/pasang surut. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam penerapan teknologinya antara lain :
a. Lahan sawah beririgasi : peningkatan mutu
intensifikasi (PMI) dengan pendekatan PTT melalui penggunaan varietas unggul
spesifik (VUS) terbaru, padi hibrida (VUH) dan padi tipe baru (VUTB) yang
berdaya hasil tinggi dan bermutu, termasuk pemupukan berimbang dan cara
budidaya spesifik lokasi.
b. Lahan sawah tadah hujan : perbaikan komponen
teknologi PTT terutama pola tanam, pengendalian gulma, varietas unggul baru
(VUB) sesuai lokasi, pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL) termasuk
pemanfaatan bahan organik.
c. Lahan kering (gogo) : melalui PTT yang
mempertimbangkan aspek konservasi lahan, pola tanam, pengelolaan hara spesifik
lokasi (PHSL) dan VUB sesuai lokasi.
d. Lahan rawa pasang surut : melalui PTT dan
introduksi varietas padi sesuai lokasi,
sawit dupa/duwit dupa, tata air mikro, konservasi lahan dan PHSL + ameliorasi.
PENUTUP
Pada masa-masa mendatang tantangan
kebutuhan pangan di tanah air akan semakin berat. Budaya konsumsi beras yang
tidak memudar ditambah lagi cepatnya laju pertambahan penduduk, membuat kita
harus mencari solusi alternatif dalam meningkatkan produktivitas pangan di
tanah air.
Diperlukan kerjasama antara berbagai
pihak yang saling sinergi untuk mengatasi tantangan tersebut. Peran serta
peneliti, korporasi, akademika dan masyarakat sangat dibutuhkan pemerintah agar
program tersebut berjalan sebagaimana mestinya demi mencapai ketahanan pangan
nasional.
*) Staf SDM & Hukum
Divre Sumatera Selatan
No comments:
Post a Comment
komentar