STRATEGI FLEKSIBILITAS HPP SEBAGAI
SARANA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI
*)
Julkhaidar Romadhon
PENDAHULUAN
Kebijakan
harga dan non-harga buat komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur
ekonomi pertanian. Kebijakan Non harga sudah ada sejak tahun 1960 an melalui program bimbingan
massal (BIMAS) dengan cara memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik
pertanian. Namun, kebijakan non harga tersebut tidak terlalu efektif
dikarenakan sering dijumpai kasus harga gabah/beras dibawah harga produksi
petani. Oleh karena itulah, Kebijakan harga
dalam rangka melindungi kepentingan petani padi dan beras diperkenalkan di
Indonesia pada tahun 1969 dan sampai kini kebijakan harga dan non harga
dilaksanakan secara bersamaan.
PERJALANAN
KEBIJAKAN HARGA
Kebijakan
harga yang diterapkan pemerintah dalam perjalanannya banyak mengalami perubahan
mulai dari istilah sampai dengan cara penghitungannya. Pada era Orde Baru (ORBA) pemerintah menetapkan harga
gabah dan beras melalui instrument harga dasar. Pemerintah melalui BULOG (Badan
Urusan Logistik) menyerap gabah dan beras petani agar tidak mengalami kejatuhan
atau dibawah harga dasar. Penetapan harga dasar pada tahun 1980-an ditentukan
oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai untuk itu berubah dari
waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kg
gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kg urea. Namun Sejak awal tahun
1990an, harga dasar ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya produksi, tingkat
inflasi, dan harga beras di pasar internasional. Harga beras luar negeri
dipakai sebagai patokan biaya oportunitas dan efisiensi pada industri beras
nasional.
Di era
reformasi pemerintah menata ulang kebijakan harga yang terabaikan dalam periode
1997-2000. Pada waktu itu, pemerintah terpaksa menempuh liberalisasi pasar
beras yang radikal, karena "tekanan" lembaga donor IMF. Pada akhir
tahun 2001, pemerintah berhasil menata ulang kebijakan perberasan nasional. Perubahan
harga dari harga dasar (HD) menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP)
tertuang dalam diktum ketiga Inpres No. 9/2001 tentang penetapan kebijakan
perberasan dan berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era reformasi
lebih komprehensif, mencakup kebijakan harga dan non-harga, kebijakan
perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah. Inpres kebijakan
perberasan tersebut diperbaharui hampir setiap tahun. Sejak tahun 2005, istilah
HDPP diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP).
Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) yang dituangkan dalam Inpres dari tahun 2005 sampai
dengan tahun 2010 banyak mengalami perkembangan. HPP yang dimuat dalam Inpres
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 memiliki kesamaan yaitu BULOG dalam
melakukan pembelian gabah/beras harus berdasarkan HPP didalam Inpres tersebut.
Tetapi ini sangat berbeda dengan Inpres yang terbit pada tahun 2010, yaitu No.
8/2010 yang memberikan izin kepada BULOG untuk membeli gabah/beras diatas harga
HPP yang berdasarkan pada data pencatatan harga BPS. Disini BULOG diberikan
keleluasaan dalam membeli gabah/beras petani tanpa terpaku dengan harga
pembelian pemerintah atau yang sering kita kenal dengan istilah fleksibilitas
HPP.
PERKEMBANGAN FLEKSIBILITAS
HPP PADA INPRES NO 8 TAHUN 2010
Pemerintah dalam rangka memberikan jaminan harga dan jaminan pasar
atas hasil produksi padi petani menunjuk suatu lembaga yaitu
Perum BULOG. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Pembelian gabah dan beras dalam
negeri yang disebut sebagai pengadaan dalam negeri merupakan satu bukti keberpihakan Pemerintah
(Perum BULOG) pada petani produsen melalu jaminan harga
dan jaminan pasar atas hasil
produksinya. Bulog diharapkan
dapat menyerap gabah/beras sebanyak-banyaknya melalui fungsi pengadaannya.
Instruksi
Presiden No 8/2010, yang berisikan izin
kepada BULOG untuk membeli gabah/beras diatas harga HPP berdasarkan data pencatatan harga BPS,
merupakan bukti keberpihakan pemerintah kepada petani. Walaupun berdasarkan
analisa didaerah menyebutkan kenaikan insentif HPP, hanya efektif pada 1-2
minggu pertama pengadaan setelah insentif HPP diberikan, kemudian terjadi
kenaikan harga/gabah beras di pasar, tetapi justru hal tersebut dapat kita
lihat sebagai sarana BULOG untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan petani.
Perhitungan
fleksibilitas HPP yang dilakukan BULOG, hendaknya memperhitungkan
variabel-variabel biaya produksi dan memberikan tingkat keuntungan yang wajar
bagi petani dan tidak memberatkan bagi konsumen. Jika semua itu sudah
diperhitungkan, sekarang tinggal hanya bagaimana caranya merumuskan
langkah-langkah strategis agar fleksibilitas HPP yang dilakukan BULOG efektif
dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Efektif disini mengandung artian
bahwa fleksibilitas HPP tersebut benar-benar dinikmati oleh petani bukan para
pedagang beras. Oleh karena itulah, perlu adanya rumusan strategi dalam
penerapan fleksibilitas HPP ini agar mencapai tujuan yang diinginkan.
STRATEGI KEBIJAKAN
FLEKSIBILITAS HPP
Jika
BULOG ingin berpihak kepada petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka,
justru dengan Inpres No 8 tahun 2010 inilah kesempatannya. Nilai tukar petani
padi dari tahun ke tahun sangat kecil peningkatannya jika dibandingkan dengan
petani tanaman lain seperti perkebunan. Artinya, tingkat kesejahteraan petani
padi tidak lebih baik daripada petani perkebunan. Petani perkebunan kebanyakan
lebih sejahtera dibandingkan dengan petani tanaman padi. Oleh
karena itu, Inpres No 8 tahun 2010 benar-benar memberikan kesempatan kepada
BULOG untuk lebih aktif membeli gabah/beras dari petani dalam rangka
meningkatkan nilai tukar mereka. Semakin banyak gabah/beras yang diserap petani
berarti semakin sejahteralah petani padi.
Inpres
No 8 tahun 2010, memberikan kesempatan kepada BULOG untuk membeli gabah/beras
diatas harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) dengan berpedoman pada data
pencatatan harga BPS. Agar kenaikan insentif HPP yang diberikan BULOG dapat
dinikmati oleh petani, maka BULOG harus dapat membeli langsung kepada petani tersebut
tanpa melalui perantara. Walaupun BULOG bisa menurunkan satgas ADA DN untuk
membeli langsung gabah/beras petani, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak dan
tidak dapat menjangkau seluruh luas daerah produksi. Selain itu juga satgas ini
disinyalir kebanyakan membeli gabah/beras melalui perantara, seperti membeli
beras dari mitra kerja ataupun pelaku perberasan yang lainnya seperti pedagang
ataupun tengkulak. Sehingga dikhawatirkan Fleksibilitas HPP ini tidak dinikmati
oleh petani, tetapi dinikmati oleh mitra kerja atau pelaku perberasan lainnya
sehingga akhirnya kesejahteraan petani
sulit untuk diwujudukan.
Oleh
karena itulah, dalam rangka fleksibilitas HPP ini mencapai dua tujuan sekaligus
yakni pertama, BULOG mampu menyerap gabah/beras petani sebanyak-banyaknya dan
kedua, meningkatkan kesejahteraan petani, maka haruslah dibuat beberapa
peraturan yang wajib untuk dipenuhi. Peraturan tersebut berisi syarat-syarat
yang harus dipenuhi baik oleh satgas ADA DN, UPGB, maupun oleh Mitra Kerja
(MK).
Syarat-syarat tersebut harus mencantumkan antara lain :
1. Nama petani yang
menjual gabah/beras
Gabah/beras
yang diperoleh satgas ADA DN, UPGB, maupun oleh Mitra Kerja harus mencantumkan
nama beberapa petani, ataupun gapoktan, sehingga jelas bahwa mitra langsung
membeli ke petani tanpa melalui perantara.
BULOG
dapat menolak gabah/beras dari satgas ADA DN, UPGB, maupun oleh Mitra Kerja
jika melalui banyak perantara. Banyaknya perantara dalam perberasan ini akan
menyebabkan banyaknya margin keuntungan yang dibagi, jika sudah begitu tentu
akan menyebabkan harga yang diterima petani menjadi lebih rendah. Jika petani
menerima harga yang tidak wajar, bagaimana kesejahteraan petani bisa meningkat
2. Daerah asal gabah/beras
yang diperoleh
Daerah
asal beras yang diperoleh harus pula dicantukam, sehingga kebenaran dari data
yang diberikan dapat diverifikasi dengan langsung mendatanginya dan menanyakan kebenaran
data tersebut. BULOG dapat menolak gabah/beras dari satgas ADA DN, UPGB, maupun
oleh Mitra Kerja jika tidak mencantumkan daerah asal gabah/beras yang diperoleh.
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa
mereka khawatir akan diketahui berapa harga pembelian terhadap gabah/beras dari
petani tersebut.
3. Harga gabah/beras
yang dibeli
Harga
beras yang dibeli baik oleh satgas ADA DN, UPGB, maupun oleh Mitra Kerja
merupakan hal yang sangat penting untuk dicantumkan. Transparansi harga
sangatlah penting diketahui, karena kita dapat menghitung margin keuntungan
masing-masing pihak yang terlibat dalam bisnis beras ini. Selain itu juga kita
bisa mengetahui berapa harga yang diterima oleh para petani padi. BULOG dapat
melakukan penolakan dari gabah/beras satgas ADA DN, UPGB, maupun oleh Mitra
Kerja jika dinilai harga pembelian tersebut tidak wajar dan lebih banyak
menguntungkan mereka.
Kesemua
syarat tersebut harus dilengkapi oleh satgas ADA DN, UPGB, maupun Mitra Kerja jika
ingin memasukkan gabah/berasnya ke gudang BULOG. Ketentuan tersebut diatas bisa
dimasukkan di dalam SOP (Standar Operasional Prosedur) pengadaan ataupun sebagai
syarat tambahan wajib. Ketentuan tersebut juga mesti bersifat mengikat didepan
hukum dalam artian disegel atau memakai materai dengan ditandatangani oleh
perwakilan petani agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Memang
diawal-awal pemberlakuan syarat tersebut banyak mitra kerja yang tidak
mematuhinya, tetapi lama kelamaan hal ini akan terbiasa dengan sendirinya.
Bisa
kita bayangkan jika kesemua syarat tersebut dapat dipatuhi oleh satgas ADA DN,
UPGB, maupun Mitra Kerja BULOG. Mereka membeli dari petani langsung tanpa
melalui perantara dalam hal ini tengkulak, tentunya HPP ini langsung dapat
dirasakan manfaatnya bagi petani. Sehingga dengan demikian diharapkan nilai
tukar petani padi yang menunjukkan tingkat kesejahteraannya dapat meningkat,
dan permasalahan kemiskinan di perdesaan dapat teratasi dengan sendirinya.
PENUTUP
Tentunya
tugas untuk meningkakan kesejahteraan petani bukanlah pekerjaan yang mudah,
banyak pihak yang mesti terlibat. Oleh karena itu, BULOG harus menggandeng
organisasi-organisasi petani seperti PERPADI (Persatuan Penggilingan Padi), KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan), HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani),
selain itu juga pihak pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan juga harus dilibatkan.
Bagi
Mitra Kerja BULOG walaupun syarat ini sangat sulit, tetapi harus tetap dipenuhi
demi kepentingan jangka panjang yaitu kesejahteraan petani. BULOG juga harus
konsisten dalam menjalankan syarat-syarat diatas jika benar-benar ingin
meningkatkan nlai tukar petani. Semoga, permasalahan kemiskinan di Indonesia
dapat teratasi dengan meningkatkan kesejahteraan petani padi di perdesaan.
*) Staf SDM & Hukum
Divre Sumatera Selatan
No comments:
Post a Comment
komentar