Thursday 28 February 2013

BERAS ANALOG



BERAS ANALOG; SUMBER ALTERNATIF
DIVERSIFIKASI PANGAN MASA DEPAN
*) Julkhaidar Romadhon
Beras analog adalah beras non padi yang bahan bakunya berasal dari tepung jagung, tepung sagu ataupun tepung yang lainnya.

Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat besar terhadap beras, membuat pusing pembuat kebijakan di negeri ini. Bahkan berbagai penelitian menyebutkan hampir 95-98% dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih kurang 237 juta jiwa mengkonsumsi beras. Stigma “ jika belum makan nasi, belum kenyang “ begitu kuatnya melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat benar-benar tidak bisa melepaskan ketergantungannya terhadap beras untuk beralih ke sumber alternatif bahan pangan yang lain, seperti singkong, jagung, sagu dan lain sebagainya. Walaupun pemerintah sudah terus-menerus menggaungkan program diversifikasi pangan, tapi masih saja konsumsi terhadap beras tidak mengalami penurunan.

KEUNGGULAN BERAS DIBANDING PANGAN LAIN
Tentunya banyak alasan mengapa masyarakat kita sangat suka makan nasi dan tidak mau beralih ke alternatif pangan lain. Alasan yang sangat masuk akal dan sesuai dengan realita yang ada antara lain dikarenakan ;
(1)               Nasi masih tetap enak dimakan walau tanpa ada lauk pauk.
Makan nasi saja tanpa ada lauknya masih tetap enak karena terasa gurih dan manis. Ini dikarenakan adanya unsur karbohidrat komplek yang dirubah menjadi senyawa glukosa sehingga memberikan rasa manis. Bahkan ada juga masyarakat yang menambahkan garam sebagai lauk makan mereka walaupun tanpa ikan dan sayur- mayur.
(2)               Beras mudah diproses atau dimasak
Beras tinggal dicuci, diberikan sedikit air lalu dimasak atau dimasukkan ke magic jar kemudian tunggu beberapa menit hingga menjadi nasi. Coba kita bandingkan dengan singkong yang harus dikupas dulu untuk dibuang kulitnya. Kepraktisan dalam pemrosesan beras menjadi nasi, juga menjadi pemicu ketidakmauan masyarakat beralih ke sumber bahan pokok lain.
(3)               Beras mudah didapatkan
Beras mudah didapatkan dimana saja, baik di warung, toko, pasar maupun minimarket dan supermarket. Hal ini dikarenakan banyaknya petani yang menanam padi sehingga pasokan beras menjadi lancar. Coba kita bandingkan dengan singkong yang tidak semua warung atau toko menjualnya, kalaupun ada yang menjual itupun kadang hanya sekali-sekali saja dikarenakan sedikitnya pasokan karena petani yang sedikit menanamnya.
(4)               Kemasan yang simpel
Beras biasanya disimpan di dalam kemasan plastik mulai dari 2 kg, 5 kg hingga 20 kg tersedia semua. Ukuran butir beras yang kecil memudahkan dalam pengemasannya dalam kantong-kantong plastic. Kemasan plastic tersebut tidak membuat kotor lantai, sehingga membuat supermarket maupun minimarket mau memajangnya di etalase mereka. Coba kita bandingkan dengan singkong yang ukurannya besar sehingga sulit dalam pengemasannya.
(5)               Harga yang stabil
Faktor harga juga sangat menentukan dalam hal ketertarikan masyarakat untuk mengkonsumsi beras. Perhatian yang besar dari pemerintah dalam hal kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi membuat harga beras stabil dan mudah diakses. Dengan membeli 1 kg beras, sudah dapat dikonsumsi seharian oleh rumah tangga. Coba bandingkan dengan 1 kg singkong yang jika diolah hanya mendapatkan sedikit hasil, dikarenakan mempunyai ukuran kulit yang lebar.

BERAS ANALOG SUMBER PANGAN BARU
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras yang cukup tinggi, ditambah lagi keunggulan beras dibanding bahan pokok lain, membuat para akademisi di perguruan tinggi berpikir keras mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut.

Solusi itu akhirnya didapatkan ketika Menteri BUMN Dahlan Iskan menghadiri hari peringatan 60 tahun pendidikan pertanian  di Institut Pertanian Bogor tanggal 17 April 2012.  Ketika itu pak menteri memberikan tantangan terkait alternatif pengganti karbohidrat yang serupa dengan beras tetapi bukan beras untuk kemudian dikembangkan di Sorong, Papua. Jawaban itupun ditantang Anisa dan timnya yang merupakan mahasiswi dari IPB Bogor dengan menunjukkan segenggam beras analog ke tangan pak menteri Dahlan Iskan. Oleh karena hasil penelitian itulah yang akhirnya membuat mereka bertiga akan diboyong oleh pak menteri untuk belajar ke luar negeri.

Menurut anisa, Beras analog bentuknya sangat mirip dengan beras yang biasa dikonsumsi masyarakat, tetapi bukan berasal dari tanaman padi. Secara garis besar proses pembuatan beras analog sangatlah sederhana. Beras analog memiliki komposisi berupa karbohidrat yang dapat ditukar dengan jagung, sagu atau sorgum. Komposisi tersebut bisa berupa 40 persen tepung jagung, 30 persen tepung sorgum dan 30 persen tepung yang lainnya. Setelah komposisi tersebut ditimbang, bahan-bahan tersebut dicampur dengan menggunakan mikser yang kemudian ditambah air biar menjadi adonan. Adonan yang sudah jadi tersebut dimasukkan dalam “hopper ekstruder” yang kemudian dilakukan pengaturan kondisi proses dan setelah beras analog keluar dari mesin ekstruder selanjutnya dilakukan proses pengeringan sebagai tahap akhir.

Beras analog memang merupakan hasil penelitian yang difokuskan untuk diversifikasi pangan. Beras ini sudah menjalani masa uji selama satu tahun penelitian dan bisa direkayasa untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diabetes. Beras analog ini juga memiliki kadar protein delapan persen dan kadar seratnya di atas empat persen. Beras analog ini juga sudah masuk dalam daftar satu dari 103 inovasi nasional dan pada 2011 mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Beras analog yang merupakan inovasi baru IPB ini  diluncurkan secara resmi oleh menteri Pertanian Suswono pada saat Wisuda IPB di Kampus Dramaga pada awal September. Dalam sambutannya Suswono menyatakan bahwa  ini adalah bukti Indonesia mampu menciptakan mode pangan berbeda. Peluncuran tersebut juga dibarengi dengan acara makan bersama beras analog sebagai bentuk kampanye yang diikuti 4.200 mahasiswa di gedung Graha Widya. Acara tersebut berhasil meraih rekor MURI kategori makan beras nonpadi dengan jumlah peserta terbanyak.

PELUANG PANGAN MASA DEPAN
Penemuan beras analog seolah menjawab permasalahan perberasan yang ada di tanah air selama ini. Mulai dari produksi padi yang menurun sampai terjadinya impor beras hingga mandeknya program diversifikasi pangan berbahan baku singkong, jagung, tepung. Analisa tersebut tampaknya cukup beralasan, mengingat masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi.  Asal bahan baku pembuatan beras analog tidak akan membuat masyarakat protes, selama itu masih berbentuk beras dan jika dimasak berbentuk nasi. Jika masyarakat sudah terbiasa makan beras analog tentunya akan mengurangi ketergantungan terhadap beras sekaligus memperlancar program diversifikasi pangan.

Penemuan baru yang sudah lama disiapkan sepatutnya diapresiasi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya. Penemuan beras analog harus didukung keberadaannya oleh semua pihak. Mulai dari bahan baku pembuatnya sampai dengan peralatan untuk mencetak beras analog tersebut. Bahan baku yang terdiri dari jagung, sagu dan sorgum merupakan bahan pangan lokal yang sangat cocok dikembangkan di negeri kita ini. Sebagai contoh adalah Gorontalo yang merupakan daerah penghasil jagung yang telah lama kita kenal, begitu juga daerah bagian timur Indonesia seperti NTT, Maluku dan Papua merupakan daerah penghasil sagu terbesar dan sangat cocok ditanami sorgum.

Dengan adanya penemuan beras  analog, kultur masyarakat Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang pada awalnya makan umbi-umbian, sagu dan sukun tetapi sekarang beralih ke beras akan berangsur-angsur secara tidak langsung beralih kembali ke kulturnya yang semula. Sedangkan kultur makan beras yang pada awalnya hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali  Kalimantan dan Sulawesi tetap bisa makan nasi, tetapi secara tidak langsung menjalankan program diversifikasi pangan tanpa harus mendorong mereka untuk mengkonsumsi jagung, umbi-umbian atau singkong. Beras analog merupakan jalan tengah bagi masyarakat Indonesia yang tidak bisa melepaskan ketergantungan makan nasi setiap harinya. Msayarakat masih tetap bisa makan nasi sekaligus menjalankan program diversifikasi pangan nasional.

Banyaknya persoalan pertanian di Indonesia seperti rendahnya produktivitas, alih fungsi lahan pertanian, serangan hama dan penyakit tanaman, kekeringan, banjir serta persoalan lainnya yang berakibat pada penurunan produksi padi nasional dapat ditutupi dengan peningkatan produksi beras analog. Defisit beras dalam negeri yang biasanya ditutupi dengan jalan mengimpor beras tidak akan lagi dilakukan jika produksi beras analog ini sudah diproduksi secara nasional. Tinggal sekarang bagaimana peran pemerintah mengelola beras analog ini secara terintegrasi. Mulai dari petani yang menanam, daerah yang memproduksi bahan baku hingga perusahaan yang menghasilkan dan memasarkan beras analog.

Standarisasi dan pengawasan terhadap beras analog juga harus dilakukan. Harus ada standarisasi nasional untuk mengatur kandungan apa saja yang boleh digunakan dalam proses pembuatannya. Pengawasan oleh badan yang berwenang pun harus dilakukan untuk memastikan apakah prosedur yang sudah dibuat dilaksanakan dengan sebenarnya. Jika sudah ada standarisasi dan pengawasan yang ketat, tentunya membuat masyarakat menjadi tenang dan yakin untuk menkonsumsi pangan tersebut dengan aman.

PENUTUP
Perkembangan beras analog kedepannya tergantung dari peran aktif banyak pihak. Dalam hal ini, pemerintah harus secepatnya lebih pro aktif dalam mensukseskan beras analog ini sebagai alternatif sumber diversifikasi pangan. Pemerintah harus secepatnya membuat regulasi dan standarisasi beras analog secara nasional. Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat tergantung dengan beras, maka sangat layaklah jika beras analog dikembangkan sebagai alternatif sumber diversifikasi pangan masa depan.
*)  Staf SDM & Hukum
Divre Sumatera Selatan

No comments:

Post a Comment

komentar