BERAS ANALOG;
SUMBER ALTERNATIF
DIVERSIFIKASI
PANGAN MASA DEPAN
*) Julkhaidar
Romadhon
Beras analog adalah
beras non padi yang bahan bakunya berasal dari tepung jagung, tepung sagu
ataupun tepung yang lainnya.
Ketergantungan
masyarakat Indonesia yang sangat besar terhadap beras, membuat pusing pembuat
kebijakan di negeri ini. Bahkan berbagai penelitian menyebutkan hampir 95-98%
dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih kurang 237 juta jiwa mengkonsumsi
beras. Stigma “ jika belum makan nasi, belum kenyang “ begitu kuatnya melekat
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat benar-benar tidak bisa
melepaskan ketergantungannya terhadap beras untuk beralih ke sumber alternatif
bahan pangan yang lain, seperti singkong, jagung, sagu dan lain sebagainya.
Walaupun pemerintah sudah terus-menerus menggaungkan program diversifikasi
pangan, tapi masih saja konsumsi terhadap beras tidak mengalami penurunan.
KEUNGGULAN BERAS DIBANDING PANGAN
LAIN
Tentunya
banyak alasan mengapa masyarakat kita sangat suka makan nasi dan tidak mau
beralih ke alternatif pangan lain. Alasan yang sangat masuk akal dan sesuai
dengan realita yang ada antara lain dikarenakan ;
(1)
Nasi masih tetap enak dimakan walau tanpa ada lauk pauk.
Makan nasi saja tanpa ada
lauknya masih tetap enak karena terasa gurih dan manis. Ini dikarenakan adanya
unsur karbohidrat komplek yang dirubah menjadi senyawa glukosa sehingga
memberikan rasa manis. Bahkan ada juga masyarakat yang menambahkan garam
sebagai lauk makan mereka walaupun tanpa ikan dan sayur- mayur.
(2)
Beras mudah diproses atau dimasak
Beras tinggal dicuci, diberikan
sedikit air lalu dimasak atau dimasukkan ke magic jar kemudian tunggu beberapa
menit hingga menjadi nasi. Coba kita bandingkan dengan singkong yang harus
dikupas dulu untuk dibuang kulitnya. Kepraktisan dalam pemrosesan beras menjadi
nasi, juga menjadi pemicu ketidakmauan masyarakat beralih ke sumber bahan pokok
lain.
(3)
Beras mudah didapatkan
Beras mudah didapatkan dimana
saja, baik di warung, toko, pasar maupun minimarket dan supermarket. Hal ini
dikarenakan banyaknya petani yang menanam padi sehingga pasokan beras menjadi
lancar. Coba kita bandingkan dengan singkong yang tidak semua warung atau toko
menjualnya, kalaupun ada yang menjual itupun kadang hanya sekali-sekali saja
dikarenakan sedikitnya pasokan karena petani yang sedikit menanamnya.
(4)
Kemasan yang simpel
Beras biasanya disimpan di
dalam kemasan plastik mulai dari 2 kg, 5 kg hingga 20 kg tersedia semua. Ukuran
butir beras yang kecil memudahkan dalam pengemasannya dalam kantong-kantong
plastic. Kemasan plastic tersebut tidak membuat kotor lantai, sehingga membuat
supermarket maupun minimarket mau memajangnya di etalase mereka. Coba kita
bandingkan dengan singkong yang ukurannya besar sehingga sulit dalam
pengemasannya.
(5)
Harga yang stabil
Faktor harga juga sangat
menentukan dalam hal ketertarikan masyarakat untuk mengkonsumsi beras.
Perhatian yang besar dari pemerintah dalam hal kebijakan harga dasar dan harga
eceran tertinggi membuat harga beras stabil dan mudah diakses. Dengan membeli 1
kg beras, sudah dapat dikonsumsi seharian oleh rumah tangga. Coba bandingkan
dengan 1 kg singkong yang jika diolah hanya mendapatkan sedikit hasil,
dikarenakan mempunyai ukuran kulit yang lebar.
BERAS ANALOG SUMBER PANGAN BARU
Ketergantungan
masyarakat Indonesia terhadap beras yang cukup tinggi, ditambah lagi keunggulan
beras dibanding bahan pokok lain, membuat para akademisi di perguruan tinggi berpikir
keras mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
Solusi
itu akhirnya didapatkan ketika Menteri BUMN Dahlan Iskan menghadiri hari peringatan 60 tahun pendidikan pertanian di Institut Pertanian Bogor tanggal 17 April
2012. Ketika itu pak menteri memberikan tantangan
terkait alternatif pengganti karbohidrat yang serupa dengan beras tetapi bukan
beras untuk kemudian dikembangkan di Sorong, Papua. Jawaban itupun ditantang
Anisa dan timnya yang merupakan mahasiswi dari IPB Bogor dengan menunjukkan
segenggam beras analog ke tangan pak menteri Dahlan Iskan. Oleh karena hasil
penelitian itulah yang akhirnya membuat mereka bertiga akan diboyong oleh pak
menteri untuk belajar ke luar negeri.
Menurut anisa, Beras
analog bentuknya sangat mirip dengan beras yang biasa dikonsumsi masyarakat,
tetapi bukan berasal dari tanaman padi. Secara garis besar proses pembuatan
beras analog sangatlah sederhana. Beras analog memiliki komposisi berupa karbohidrat
yang dapat ditukar dengan jagung, sagu atau sorgum. Komposisi tersebut bisa
berupa 40 persen tepung jagung, 30 persen tepung sorgum dan 30 persen tepung
yang lainnya. Setelah komposisi tersebut ditimbang, bahan-bahan tersebut
dicampur dengan menggunakan mikser yang kemudian ditambah air biar menjadi
adonan. Adonan yang sudah jadi tersebut dimasukkan dalam “hopper ekstruder” yang
kemudian dilakukan pengaturan kondisi proses dan setelah beras analog keluar dari
mesin ekstruder selanjutnya dilakukan proses pengeringan sebagai tahap akhir.
Beras analog memang
merupakan hasil penelitian yang difokuskan untuk diversifikasi pangan. Beras
ini sudah menjalani masa uji selama satu tahun penelitian dan bisa direkayasa
untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diabetes. Beras analog ini juga memiliki kadar
protein delapan persen dan kadar seratnya di atas empat persen. Beras analog
ini juga sudah masuk dalam daftar satu dari 103 inovasi nasional dan pada 2011
mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Beras analog yang
merupakan inovasi
baru IPB ini diluncurkan secara resmi
oleh menteri Pertanian Suswono pada saat Wisuda IPB di Kampus Dramaga pada awal
September. Dalam sambutannya Suswono menyatakan bahwa ini adalah bukti Indonesia mampu menciptakan
mode pangan berbeda. Peluncuran tersebut juga dibarengi dengan acara makan
bersama beras analog sebagai bentuk kampanye yang diikuti 4.200 mahasiswa di
gedung Graha Widya. Acara tersebut berhasil meraih rekor MURI kategori makan
beras nonpadi dengan jumlah peserta terbanyak.
PELUANG PANGAN MASA DEPAN
Penemuan
beras analog seolah menjawab permasalahan perberasan yang ada di tanah air
selama ini. Mulai dari produksi padi yang menurun sampai terjadinya impor beras
hingga mandeknya program diversifikasi pangan berbahan baku singkong, jagung,
tepung. Analisa tersebut tampaknya cukup beralasan, mengingat masyarakat
Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi.
Asal bahan baku pembuatan beras analog tidak akan membuat masyarakat protes,
selama itu masih berbentuk beras dan jika dimasak berbentuk nasi. Jika
masyarakat sudah terbiasa makan beras analog tentunya akan mengurangi
ketergantungan terhadap beras sekaligus memperlancar program diversifikasi
pangan.
Penemuan
baru yang sudah lama disiapkan sepatutnya diapresiasi untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya. Penemuan beras analog harus didukung keberadaannya oleh semua
pihak. Mulai dari bahan baku pembuatnya sampai dengan peralatan untuk mencetak
beras analog tersebut. Bahan baku yang terdiri dari jagung, sagu dan sorgum
merupakan bahan pangan lokal yang sangat cocok dikembangkan di negeri kita ini.
Sebagai contoh adalah Gorontalo yang merupakan daerah penghasil jagung yang
telah lama kita kenal, begitu juga daerah bagian timur Indonesia seperti NTT,
Maluku dan Papua merupakan daerah penghasil sagu terbesar dan sangat cocok
ditanami sorgum.
Dengan
adanya penemuan beras analog, kultur
masyarakat Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang pada awalnya makan umbi-umbian,
sagu dan sukun tetapi sekarang beralih ke beras akan berangsur-angsur secara
tidak langsung beralih kembali ke kulturnya yang semula. Sedangkan kultur makan
beras yang pada awalnya hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali Kalimantan dan Sulawesi tetap bisa makan nasi,
tetapi secara tidak langsung menjalankan program diversifikasi pangan tanpa
harus mendorong mereka untuk mengkonsumsi jagung, umbi-umbian atau singkong.
Beras analog merupakan jalan tengah bagi masyarakat Indonesia yang tidak bisa
melepaskan ketergantungan makan nasi setiap harinya. Msayarakat masih tetap
bisa makan nasi sekaligus menjalankan program diversifikasi pangan nasional.
Banyaknya
persoalan pertanian di Indonesia seperti rendahnya produktivitas, alih fungsi
lahan pertanian, serangan hama dan penyakit tanaman, kekeringan, banjir serta
persoalan lainnya yang berakibat pada penurunan produksi padi nasional dapat
ditutupi dengan peningkatan produksi beras analog. Defisit beras dalam negeri
yang biasanya ditutupi dengan jalan mengimpor beras tidak akan lagi dilakukan
jika produksi beras analog ini sudah diproduksi secara nasional. Tinggal
sekarang bagaimana peran pemerintah mengelola beras analog ini secara
terintegrasi. Mulai dari petani yang menanam, daerah yang memproduksi bahan
baku hingga perusahaan yang menghasilkan dan memasarkan beras analog.
Standarisasi
dan pengawasan terhadap beras analog juga harus dilakukan. Harus ada
standarisasi nasional untuk mengatur kandungan apa saja yang boleh digunakan
dalam proses pembuatannya. Pengawasan oleh badan yang berwenang pun harus
dilakukan untuk memastikan apakah prosedur yang sudah dibuat dilaksanakan
dengan sebenarnya. Jika sudah ada standarisasi dan pengawasan yang ketat,
tentunya membuat masyarakat menjadi tenang dan yakin untuk menkonsumsi pangan
tersebut dengan aman.
PENUTUP
Perkembangan
beras analog kedepannya tergantung dari peran aktif banyak pihak. Dalam hal
ini, pemerintah harus secepatnya lebih pro aktif dalam mensukseskan beras
analog ini sebagai alternatif sumber diversifikasi pangan. Pemerintah harus
secepatnya membuat regulasi dan standarisasi beras analog secara nasional.
Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat tergantung dengan beras, maka sangat
layaklah jika beras analog dikembangkan sebagai alternatif sumber diversifikasi
pangan masa depan.
*) Staf SDM & Hukum
Divre Sumatera Selatan
No comments:
Post a Comment
komentar