BERAS
; KOMODITAS STRATEGIS,
POLITIS TAK TERGANTIKAN
WIB EDISI 01/XXXX/2012 KOLOM :
WACANA
Julkhaidar Romadhon *)
A.
PENDAHULUAN
Berdasarkan data BPS
tahun 2011 penduduk Indonesia berjumlah lebih kurang 237 juta jiwa, dimana 63,2
persennya tinggal di perdesaan. Hampir dari seluruh rakyat Indonesia atau lebih
kurang 98 persen makanan pokoknya adalah nasi (Riyadi, 2002). Nasi merupakan
produk olahan dari beras, dimana beras juga merupakan hasil olahan dari tanaman
padi, yang diusahatanikan petani di perdesaan dengan lahan yang rata-rata 0,3
hektar.
Tanaman padi masih merupakan tanaman pangan pokok yang
diusahakan oleh mayoritas petani di Indonesia, namun demikian Indonesia masih selalu tidak terlepas dari dilema
beras yang menjadi makanan pokok. Kendati luas lahan padi terus berkembang,
tetapi masih saja dibutuhkan impor beras.
Luas lahan padi di Indonesia pada Tahun 2011 sekitar 12,92 juta hektar
dengan produksi sebesar 68,06 juta ton GKG, (BPS, 2011). Pertumbuhan
luas lahan padi ditargetkan sebesar 2,05 persen sampai Tahun 2014 (Ditjen Pangan, 2010).
Selain upaya perluasan lahan, pemerintah juga telah
melakukan pengembangan teknologi pertanian padi, pendistribusian sarana
produksi padi, penguatan kelembagaan petani, penyediaan kredit produksi,
pemasaran produksi, dan pembenahan sarana dan prasarana pengembangan komoditi
padi.
Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi
yang diharapkan mampu mengimbangi kecepatan laju penduduk yang diperkirakan
setiap tahunnya sekitar 1,3 – 1,5% per tahun.
Peningkatan
produksi padi yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2014 hingga mencapai
surplus 10 juta ton beras harus benar-benar didukung secara nasional. Pemerintah
di daerah harus tahu dan tanggap terhadap program yang sudah dicanangkan ini,
sehingga dapat berjalan sesuai rencana dan mampu untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi akan beras di dalam negeri.
Kebutuhan
konsumsi beras rakyat Indonesia diperkirakan 139 kg/kapita/tahun, dengan jumlah
penduduk sekitar 237 juta jiwa, maka konsumsi beras diperkirakan sekitar 33,4
juta ton/tahun. Konsumsi akan beras yang sangat besar inilah yang menjadikan
beras merupakan komoditas yang sangat strategis, sehingga kadangkala karena
kestrategisannya ini, bisa berubah menjadi politis. Untuk itulah pemenuhan akan
kebutuhan beras dalam negeri harus terus dijaga agar tetap selalu ada.
B.
BERAS KOMODITAS STRATEGIS DAN POLITIS
Beras masih dianggap sebagai
komoditas strategis yang dominan dalam ekonomi Indonesia. Hal itu disebabkan
beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia, berkaitan erat
dengan kebijakan moneter, dan menyangkut masalah sosial politik (Adiratma,
2004). Ditambah lagi target pemerintah untuk pencetakan sawah baru lebih kurang
60 ribu hektar per tahun dan program nasional surplus 10 juta ton sampai tahun
2014, jelas menunjukkan betapa strategis dan politisnya komoditas yang satu ini.
Kebijakan moneter yang dalam hal ini
dilakukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia, sangat berkepentingan dengan
komoditas beras ini. Mengapa tidak, karena beras merupakan salah satu faktor
pemicu kenaikan harga kebutuhan lainnya jika harganya tidak dikendalikan. Kenaikan
harga-harga secara umum inilah yang disebut dengan inflasi. Menurut Sugema,
(2006) Harga beras dalam bobot harga sembilan bahan pokok (sembako) masih
menduduki posisi antara 60-65%. Namun, dalam bobot 150 jenis barang dan jasa
yang biasa digunakan untuk mengukur biaya hidup secara umum dan laju inflasi, beras
menduduki posisi sekitar 23%.
Mengingat beras merupakan
komoditas strategis dan politis, maka pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri
harus selalu terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan barang lainnya mungkin bisa
ditahan, tetapi khusus untuk beras merupakan sebuah pengecualian, disebabkan
beras merupakan kebutuhan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia. Orang belum
merasa kenyang jika belum makan nasi, tetapi jika ada nasi walaupun tanpa lauk
pauk nasi masih tetap enak untuk dimakan.
Kelangkaan beras di negeri ini akan
mengakibatkan kestidakstabilan politik
dan ekonomi. Begitupun juga sebaliknya, walaupun ada beras tetapi
harganya mahal juga dapat menimbulkan potensi kerusuhan. Orang tidak bisa
berpikir rasional lagi jika perutnya terasa lapar. Mereka akan mengamuk secara
membabi buta, berdemonstrasi ke jalan-jalan hingga membakar gedung-gedung
pemerintahan dan swasta sehingga dapat kita bayangkan jika ini terjadi secara
nasional di daerah-daerah. Keadaan inilah yang pernah terjadi di Indonesia
akibat tingginya harga beras sehingga mengakibatkan mundurnya para pemimpin
bangsa di negeri ini.
Fenomena kestrategisan komoditas
beras yang berubah menjadi politis seharusnya bisa diantisipasi jika kebutuhan
dalam negeri bisa terpenuhi. Untuk itu pemerintah tidak boleh main-main lagi
dalam hal pengambilan kebijakan tentang perberasan. Pemerintah harus berpihak
kepada petani padi dengan cara membuat kebijakan harga dan non harga. Kebijakan
harga yang dalam hal ini Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang dilakukan oleh
Perum BULOG harus layak dengan mempertimbangkan beberapa aspek sehingga petani
diuntungkan. Sedangkan kebijakan non harga seperti pemberian benih gratis,
subsidi pupuk hingga biaya perkreditan diharapkan mampu memotivasi petani untuk
terus menanam padi dan tidak tergiur untuk beralih ke tanaman keras seperti
karet dan kelapa sawit yang sedang trend atau naik daun.
Selain membuat kebijakan tersebut
diatas, pemerintah juga harus konsisten dalam menerapkan undang-undang untuk
melindungi terjadinya alih fungsi lahan. Dimana dalam undang-undang ini, terdapat
sanksi pidana dan sanksi dendanya. Dengan adanya konsistensi penerapan peraturan
ini, maka orang yang akan membeli lahan produktif untuk dijadikan industri atau
perumahan akan berpikir seratus kali karena takut akan pidana dan dendanya.
Dengan demikian alih fungsi lahan dari tahun ke tahun yang terus meningkat
tidak akan terjadi lagi.
C.
KETERGANTUNGAN TERHADAP BERAS DAN DIVERSIFIKASI PANGAN
Kecepatan laju
pertambahan penduduk Indonesia yang mencapai 1,3-1,5% per tahun, harus
diimbangi dengan laju pertambahan produksi padi agar Negara merasa aman untuk
dapat memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Tetapi kenyataannya adalah setiap
tahun diperkirakan laju alih fungsi sawah hampir 100 ribu hektar dan kemampuan
pemerintah mencetak sawah baru hanya 30 ribu hektar per tahun. Keadaan ini
harus menjadi perhatian pemerintah untuk memikirkan bagaimana cara mengurangi
agar rakyatnya memakan makanan selain beras. Dalam hal ini, rakyat Indonesia
harus bisa mengurangi konsumsi berasnya dan meningkatkan makanan pengganti
seperti jagung dan umbi-umbian.
Masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat miskin, dikenal sebagai sebagai pemakan nasi
dalam jumlah besar. Awalnya, kultur makan beras hanya pada sebagian penduduk
Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara itu, masyarakat Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua berkultur makan umbi-umbian, sagu dan sukun. Namun
sejak “revolusi hijau” 1970-an, kultur makan beras masuk sampai pedalaman
papua. Selama empat dekade terakhir, terjadi diversifikasi kultur menyantap
karbohidrat. Sayang pergeseran kultur lebih kuat mengarah ke gandum, dalam
bentuk mi dan roti, bukan jagung atau umbi-umbian.
Menurut
Jamal, et,al., (2007), kita semua
berperan dominan dalam membuat keadaan diatas. Pertama dengan menjadikan beras
sebagai komoditas politis, perhatian terhadap beras melebihi dari proporsi yang
seharusnya dan secara tidak langsung ini menjadikan komoditi lain menjadi
inferior, kurang bergengsi untuk mengkonsumsinya. Kedua, berbagai program
sebelumnya, seperti pengadaan beras untuk pegawai negeri dan penanggulangan
kelaparan dan raskin, makin memasyarakatkan konsumsi dan ketergantungan
masyarakat terhadap beras dan menutup peluang pengembangan komoditas
substitusinya
Pemerintah Indonesia
setahap demi setahap harus segera melaksanakan program diversifikasi pangan.
Program ini bisa dimulai dengan memperkenalkan pada anak-anak semenjak
dini. Mereka harus diperkenalkan makanan
hasil produksi petani dalam negeri berupa jagung dan umbi-umbian. Jika mereka
sudah terbiasa memakan makanan lain selain beras, nantinya diharapkan kebiasaan
ini akan terbawa hingga beranjak dewasa. Selain itu juga, program diversifikasi
pangan dapat diperkenalkan pada masyarakat kalangan atas, dengan cara mengolah
bahan seperti jagung dan umbi-umbian dalam bentuk hidangan berkelas di
hotel-hotel berbintang.
Selain
dihidangkan di hotel-hotel berbintang, hasil olahan dari bahan jagung dan
umbi-umbian juga bisa dihidangkan pada rapat-rapat, seminar dan bahkan jamuan
makan bagi tamu-tamu penting Negara. Ini merupakan salah satu cara untuk
diversifikasi pangan dan juga dapat menjadi ajang promosi akan hasil usahatani
dalam negeri.
Dengan
berjalannya program diversifikasi pangan, diharapkan dapat menurunkan ketergantungan
rakyat Indonesia terhadap beras dari tahun ke tahun. Mengingat kecepatan
produksi tanaman padi tidak mampu mengimbangi kecepatan laju penduduk, ditambah
lagi kecepatan laju alih fungsi lahan yang tidak dapat diimbangi dengan
kecepatan laju pertambahan areal baru.
Tentunya dengan keadaan seperti ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk
memastikan keberhasilan program penganekaragaman pangan selain makanan pokok beras.
D.
PENUTUP
Beras yang merupakan
makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia harus selalu tersedia setiap
saat. Pemenuhan akan kebutuhan beras akan membuat Negara ini terasa aman dan
tenteram. Tetapi pemenuhan kebutuhan beras ini terkendala berbagai hal seperti
rendahnya produksi tanaman padi dan terjadinya alih fungsi lahan.
Upaya
pemerintah melakukan pencetakan sawah baru tiap tahunnya patut diapresiasi,
walaupun masih tidak mampu mengimbangi kecepatan laju pertambahan penduduk.
Untuk itulah perlu adanya suatu terobosan baru yang perlu dilakukan pemerintah,
yang dalam hal ini adalah diversifikasi pangan yang harus diperkenalkan
semenjak dini. Sehingga diharapkan ketergantungan kebutuhan pokok terhadap
beras dapat dikurangi.
DAFTAR
PUSTAKA
Adiratma, E. Roekasah. Stop Tanam
Padi ?: memikirkan kondisi petani padi
Indonesia dan upaya
meningkatkan kesejahteraannya. 2004.
Penebar Swadaya.
Ditjen Pangan Kementerian Pertanian R.I. 2010.
Program Pembangunan Ditjen
Pangan Tahun 2010. Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Jamal, Ening,
Hendiarto, Noekman dan Askin. 2007. Beras dan Jebakan
Kepentingan Jangka Pendek. Analisis
kebijakan pertanian Vol. 5 No. 3
September 2007; 224-238.
Riyadi,
D. M.M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Prosiding
seminar: Tekanan penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat
Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan. Bogor.
(dalam Ria Kusumaningrum. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian
Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Pasca
Sarjana IPB Bogor. Bogor).
Sugema, I.
2006. Inflasi, Kemisikinan dan Beras. Kompas, 23 November 2006.
*) Staf SDM dan Hukum
Divre Sumatera Selatan
No comments:
Post a Comment
komentar