Thursday 28 February 2013

BERAS KOMODITAS STRATEGIS



BERAS ; KOMODITAS STRATEGIS,
 POLITIS TAK TERGANTIKAN
WIB EDISI 01/XXXX/2012 KOLOM : WACANA

Julkhaidar Romadhon *)


A. PENDAHULUAN
            Berdasarkan data BPS tahun 2011 penduduk Indonesia berjumlah lebih kurang 237 juta jiwa, dimana 63,2 persennya tinggal di perdesaan. Hampir dari seluruh rakyat Indonesia atau lebih kurang 98 persen makanan pokoknya adalah nasi (Riyadi, 2002). Nasi merupakan produk olahan dari beras, dimana beras juga merupakan hasil olahan dari tanaman padi, yang diusahatanikan petani di perdesaan dengan lahan yang rata-rata 0,3 hektar.
            Tanaman padi masih merupakan tanaman pangan pokok yang diusahakan oleh mayoritas petani di Indonesia, namun demikian  Indonesia masih selalu tidak terlepas dari dilema beras yang menjadi makanan pokok.  Kendati luas lahan padi terus berkembang, tetapi masih saja dibutuhkan impor beras.  Luas lahan padi di Indonesia pada Tahun 2011 sekitar 12,92 juta hektar dengan produksi sebesar 68,06 juta ton GKG, (BPS, 2011).  Pertumbuhan luas lahan padi ditargetkan sebesar 2,05 persen sampai Tahun 2014 (Ditjen Pangan, 2010).
            Selain upaya perluasan lahan, pemerintah juga telah melakukan pengembangan teknologi pertanian padi, pendistribusian sarana produksi padi, penguatan kelembagaan petani, penyediaan kredit produksi, pemasaran produksi, dan pembenahan sarana dan prasarana pengembangan komoditi padi. Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi yang diharapkan mampu mengimbangi kecepatan laju penduduk yang diperkirakan setiap tahunnya sekitar 1,3 – 1,5% per tahun. 
            Peningkatan produksi padi yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2014 hingga mencapai surplus 10 juta ton beras harus benar-benar didukung secara nasional. Pemerintah di daerah harus tahu dan tanggap terhadap program yang sudah dicanangkan ini, sehingga dapat berjalan sesuai rencana dan mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akan beras di dalam negeri.
            Kebutuhan konsumsi beras rakyat Indonesia diperkirakan 139 kg/kapita/tahun, dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa, maka konsumsi beras diperkirakan sekitar 33,4 juta ton/tahun. Konsumsi akan beras yang sangat besar inilah yang menjadikan beras merupakan komoditas yang sangat strategis, sehingga kadangkala karena kestrategisannya ini, bisa berubah menjadi politis. Untuk itulah pemenuhan akan kebutuhan beras dalam negeri harus terus dijaga agar tetap selalu ada.  

B. BERAS KOMODITAS STRATEGIS DAN POLITIS
          Beras masih dianggap sebagai komoditas strategis yang dominan dalam ekonomi Indonesia. Hal itu disebabkan beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia, berkaitan erat dengan kebijakan moneter, dan menyangkut masalah sosial politik (Adiratma, 2004). Ditambah lagi target pemerintah untuk pencetakan sawah baru lebih kurang 60 ribu hektar per tahun dan program nasional surplus 10 juta ton sampai tahun 2014, jelas menunjukkan betapa strategis dan politisnya  komoditas yang satu ini.
            Kebijakan moneter yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia, sangat berkepentingan dengan komoditas beras ini. Mengapa tidak, karena beras merupakan salah satu faktor pemicu kenaikan harga kebutuhan lainnya jika harganya tidak dikendalikan. Kenaikan harga-harga secara umum inilah yang disebut dengan inflasi. Menurut Sugema, (2006) Harga beras dalam bobot harga sembilan bahan pokok (sembako) masih menduduki posisi antara 60-65%. Namun, dalam bobot 150 jenis barang dan jasa yang biasa digunakan untuk mengukur biaya hidup secara umum dan laju inflasi, beras menduduki posisi sekitar 23%.
             Mengingat beras merupakan komoditas strategis dan politis, maka pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri harus selalu terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan barang lainnya mungkin bisa ditahan, tetapi khusus untuk beras merupakan sebuah pengecualian, disebabkan beras merupakan kebutuhan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia. Orang belum merasa kenyang jika belum makan nasi, tetapi jika ada nasi walaupun tanpa lauk pauk nasi masih tetap enak untuk dimakan.
            Kelangkaan beras di negeri ini akan mengakibatkan kestidakstabilan politik  dan ekonomi. Begitupun juga sebaliknya, walaupun ada beras tetapi harganya mahal juga dapat menimbulkan potensi kerusuhan. Orang tidak bisa berpikir rasional lagi jika perutnya terasa lapar. Mereka akan mengamuk secara membabi buta, berdemonstrasi ke jalan-jalan hingga membakar gedung-gedung pemerintahan dan swasta sehingga dapat kita bayangkan jika ini terjadi secara nasional di daerah-daerah. Keadaan inilah yang pernah terjadi di Indonesia akibat tingginya harga beras sehingga mengakibatkan mundurnya para pemimpin bangsa di negeri ini.  
            Fenomena kestrategisan komoditas beras yang berubah menjadi politis seharusnya bisa diantisipasi jika kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. Untuk itu pemerintah tidak boleh main-main lagi dalam hal pengambilan kebijakan tentang perberasan. Pemerintah harus berpihak kepada petani padi dengan cara membuat kebijakan harga dan non harga. Kebijakan harga yang dalam hal ini Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang dilakukan oleh Perum BULOG harus layak dengan mempertimbangkan beberapa aspek sehingga petani diuntungkan. Sedangkan kebijakan non harga seperti pemberian benih gratis, subsidi pupuk hingga biaya perkreditan diharapkan mampu memotivasi petani untuk terus menanam padi dan tidak tergiur untuk beralih ke tanaman keras seperti karet dan kelapa sawit yang sedang trend atau naik daun.  
          Selain membuat kebijakan tersebut diatas, pemerintah juga harus konsisten dalam menerapkan undang-undang untuk melindungi terjadinya alih fungsi lahan. Dimana dalam undang-undang ini, terdapat sanksi pidana dan sanksi dendanya. Dengan adanya konsistensi penerapan peraturan ini, maka orang yang akan membeli lahan produktif untuk dijadikan industri atau perumahan akan berpikir seratus kali karena takut akan pidana dan dendanya. Dengan demikian alih fungsi lahan dari tahun ke tahun yang terus meningkat tidak akan terjadi lagi. 


                                                                        
C. KETERGANTUNGAN TERHADAP BERAS DAN DIVERSIFIKASI PANGAN
            Kecepatan laju pertambahan penduduk Indonesia yang mencapai 1,3-1,5% per tahun, harus diimbangi dengan laju pertambahan produksi padi agar Negara merasa aman untuk dapat memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Tetapi kenyataannya adalah setiap tahun diperkirakan laju alih fungsi sawah hampir 100 ribu hektar dan kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 30 ribu hektar per tahun. Keadaan ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk memikirkan bagaimana cara mengurangi agar rakyatnya memakan makanan selain beras. Dalam hal ini, rakyat Indonesia harus bisa mengurangi konsumsi berasnya dan meningkatkan makanan pengganti seperti jagung dan umbi-umbian.          
             Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, dikenal sebagai sebagai pemakan nasi dalam jumlah besar. Awalnya, kultur makan beras hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara itu, masyarakat Nusa Tenggara, Maluku dan Papua berkultur makan umbi-umbian, sagu dan sukun. Namun sejak “revolusi hijau” 1970-an, kultur makan beras masuk sampai pedalaman papua. Selama empat dekade terakhir, terjadi diversifikasi kultur menyantap karbohidrat. Sayang pergeseran kultur lebih kuat mengarah ke gandum, dalam bentuk mi dan roti, bukan jagung atau umbi-umbian.
            Menurut Jamal, et,al., (2007), kita semua berperan dominan dalam membuat keadaan diatas. Pertama dengan menjadikan beras sebagai komoditas politis, perhatian terhadap beras melebihi dari proporsi yang seharusnya dan secara tidak langsung ini menjadikan komoditi lain menjadi inferior, kurang bergengsi untuk mengkonsumsinya. Kedua, berbagai program sebelumnya, seperti pengadaan beras untuk pegawai negeri dan penanggulangan kelaparan dan raskin, makin memasyarakatkan konsumsi dan ketergantungan masyarakat terhadap beras dan menutup peluang pengembangan komoditas substitusinya
            Pemerintah Indonesia setahap demi setahap harus segera melaksanakan program diversifikasi pangan. Program ini bisa dimulai dengan memperkenalkan pada anak-anak semenjak dini.  Mereka harus diperkenalkan makanan hasil produksi petani dalam negeri berupa jagung dan umbi-umbian. Jika mereka sudah terbiasa memakan makanan lain selain beras, nantinya diharapkan kebiasaan ini akan terbawa hingga beranjak dewasa. Selain itu juga, program diversifikasi pangan dapat diperkenalkan pada masyarakat kalangan atas, dengan cara mengolah bahan seperti jagung dan umbi-umbian dalam bentuk hidangan berkelas di hotel-hotel berbintang.
            Selain dihidangkan di hotel-hotel berbintang, hasil olahan dari bahan jagung dan umbi-umbian juga bisa dihidangkan pada rapat-rapat, seminar dan bahkan jamuan makan bagi tamu-tamu penting Negara. Ini merupakan salah satu cara untuk diversifikasi pangan dan juga dapat menjadi ajang promosi akan hasil usahatani dalam negeri.     
            Dengan berjalannya program diversifikasi pangan, diharapkan dapat menurunkan ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras dari tahun ke tahun. Mengingat kecepatan produksi tanaman padi tidak mampu mengimbangi kecepatan laju penduduk, ditambah lagi kecepatan laju alih fungsi lahan yang tidak dapat diimbangi dengan kecepatan laju pertambahan areal  baru. Tentunya dengan keadaan seperti ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan keberhasilan program penganekaragaman pangan selain makanan pokok beras.          

D. PENUTUP
            Beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia harus selalu tersedia setiap saat. Pemenuhan akan kebutuhan beras akan membuat Negara ini terasa aman dan tenteram. Tetapi pemenuhan kebutuhan beras ini terkendala berbagai hal seperti rendahnya produksi tanaman padi dan terjadinya alih fungsi lahan.
            Upaya pemerintah melakukan pencetakan sawah baru tiap tahunnya patut diapresiasi, walaupun masih tidak mampu mengimbangi kecepatan laju pertambahan penduduk. Untuk itulah perlu adanya suatu terobosan baru yang perlu dilakukan pemerintah, yang dalam hal ini adalah diversifikasi pangan yang harus diperkenalkan semenjak dini. Sehingga diharapkan ketergantungan kebutuhan pokok terhadap beras dapat dikurangi.     
           
           
DAFTAR PUSTAKA
            Adiratma, E. Roekasah. Stop Tanam Padi ?: memikirkan kondisi petani padi
                      Indonesia dan upaya meningkatkan kesejahteraannya. 2004.
                        Penebar Swadaya.       

BPS. 2011. Data Penduduk Indonesia. www.bps.go.id. Jakarta.
Ditjen Pangan Kementerian Pertanian R.I.  2010.  Program Pembangunan Ditjen
            Pangan Tahun 2010.   Kementerian Pertanian RI.  Jakarta.

Jamal, Ening, Hendiarto, Noekman dan Askin. 2007. Beras dan Jebakan
            Kepentingan Jangka Pendek. Analisis kebijakan pertanian Vol. 5 No. 3
            September 2007; 224-238.

            Riyadi, D. M.M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Prosiding seminar: Tekanan penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan. Bogor. (dalam Ria Kusumaningrum. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Bogor).
              
Sugema, I. 2006. Inflasi, Kemisikinan dan Beras. Kompas, 23 November 2006.

                                                                                     *) Staf SDM dan Hukum
                                                                                        Divre Sumatera Selatan


No comments:

Post a Comment

komentar