Friday 9 December 2011

Stategi kebihakan HPP terhadap pengadaan Perum BULOG

STRATEGI KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH
DALAM MENDUKUNG PENGADAAN GABAH/BERAS PERUM BULOG
DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI

Oleh : Julkhaidar Romadhon

Abstrak

Sektor pertanian tanaman pangan terutama padi-padian harus mendapatkan prioritas utama karena memproduksi beras yang merupakan bahan makanan pokok sekitar 98% penduduk Indonesia. Kelangkaan dan harga beras yang mahal akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Beragamnya varietas dan kualitas gabah/beras di Indonesia akan menyulitkan Bulog dalam melakukan penyerapan gabah/beras nasional. Untuk itu diperlukan strategi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan pembelian gabah/beras multi kualitas, yang antara lain berdasarkan perbedaan kualitas, musim panen dan varietas. Dengan demikian diharapkan penyerapan gabah/beras Bulog untuk kebutuhan dalam negeri dan sebagai cadangan beras pemerintah dapat terpenuhi. Penyerapan produksi gabah/beras nasional yang maksimal ini akan memberikan jaminan harga dan jaminan pasar bagi petani yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu juga, kebijakan HPP ini akan mendorong petani untuk terus menanam padi serta meningkatkan kuantitas dan kualitas gabah/beras mereka.

Kata Kunci : Strategi Kebijakan Harga pembelian pemerintah, Pengadaan Perum Bulog, Kesejahteraan Petani.

A. PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sektor utama mata pencaharian penduduk Indonesia sampai saat ini. Sektor ini merupakan satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan ketika krisis moneter tahun 1998 terjadi. Sektor pertanian yang dalam hal ini adalah tanaman pangan padi-padian merupakan sektor yang harus mendapatkan prioritas utama, karena memproduksi beras yang merupakan bahan makanan pokok sekitar 98% penduduk Indonesia (Riyadi, 2002).
Beras yang merupakan bahan makanan pokok bangsa Indonesia yang belum bisa digantikan oleh jenis makanan lain. Orang Indonesia masih mempunyai pandangan bahwa kalau belum makan nasi belum kenyang. Oleh karena itu, beras merupakan barang strategis di negeri ini dan karena kestrategisannya itu bisa berubah menjadi barang politis (Amang dan Sawit, 1999). Kepolitisannya itu bisa dilihat dari kejatuhan para pemimpin kita karena tidak mampunya memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, atau berasnya ada tapi harganya mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat (Krisnamurthi, 2002).
Kelangkaan beras dan harga yang tidak terjangkau merupakan masalah utama perberasan di Indonesia yang harus dipecahkan karena akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Kedua masalah tersebut jika tidak segera diatasi akan berkorelasi dengan peningkatan angka kemisikinan. Penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan maret 2011 tercatat 30,02 juta jiwa atau lebih kurang 12,49% dari total penduduk di Indonesia yaitu lebih kurang 240 juta jiwa, yang mana sekitar 63,2% dari jumlah tersebut berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian dengan luas lahan kurang dari 0,3 hektar.
Kemiskinan petani di Indonesia merupakan masalah lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Petani di Indonesia harus disejahterakan dengan hasil usaha mereka sendiri. Pemerintah harus menghargai atas apa yang telah mereka usahakan dan hasilkan melalui panennya. Salah satu bentuk penghargaan pemerintah atas hasil panen petani kita yaitu dengan cara membeli hasil panen itu sendiri. Tentunya pemerintah tidak mampu untuk membeli semua hasil panen petani kita, karena dibutuhkan dana yang sangat besar oleh sebab itu diperlukan juga peran dari pihak swasta.
Pembelian baik oleh pemerintah maupun pihak swasta diharapakan dapat menguntungkan para petani. Petani harus dilindungi dari kejatuhan harga gabahnya dibawah ongkos produksi mereka, yang akhirnya membuat mereka merugi. Karena jika mereka merugi terus, lama kelamaan mereka akan malas untuk menanam padi kembali. Untuk mengatasi hal itulah, pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan yang dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan ini akan memberikan jaminan pasar dan jaminan harga bagi produksi gabah/beras mereka, sehingga petani bersemangat untuk menanam padi dan fenomena kejatuhan harga gabah/beras tidak terdengar lagi.

B. HPP SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN HARGA

Kebijakan harga dan non-harga buat komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non harga dilaksanakan secara bersamaan sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi (Sawit, 2010).
Pemerintah selalu berusaha memberikan dorongan kepada petani dalam rangka meningkatkan produksi gabah nasional. Dorongan pemerintah ini sudah ada sejak tahun 1960 an melalui program bimbingan massal (BIMAS) dengan cara memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non harga ini tidak terlalu efektif karena sering dijumpai harga gabah/beras dibawah harga produksi petani.
Pada era Orde Baru (ORBA) pemerintah menetapkan harga gabah dan beras melalui instrument harga dasar. Pemerintah melalui BULOG (Badan Urusan Logistik) menyerap gabah dan beras petani agar tidak mengalami kejatuhan atau dibawah harga dasar. Penyerapan gabah dan beras petani oleh BULOG pada era swasembada yaitu pertengahan tahun 1980-an pernah melampaui jumlah penyalurannya dalam rangka melindungi petani dari kerugian.
Penetapan harga dasar pada tahun 1980-an ditentukan oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai untuk itu berubah dari waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kg gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kg urea. Namun Sejak awal tahun 1990an, harga dasar ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya produksi, tingkat inflasi, dan harga beras di pasar internasional. Harga beras luar negeri dipakai sebagai patokan biaya oportunitas dan efisiensi pada industri beras nasional.
Di era reformasi pemerintah menata ulang kebijakan harga yang terabaikan dalam periode 1997-2000. Pada waktu itu, pemerintah terpaksa menempuh liberalisasi pasar beras yang radikal, karena "tekanan" lembaga donor IMF. Pada akhir tahun 2001, pemerintah berhasil menata ulang kebijakan perberasan nasional.
Perubahan harga dari harga dasar (HD) menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tertuang dalam diktum ketiga Inpres No. 9/2001 tentang penetapan kebijakan perberasan dan berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era reformasi lebih komprehensif, mencakup kebijakan harga dan non-harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah. Inpres kebijakan perberasan tersebut diperbaharui hampir setiap tahun. Sejak 2005, istilah HDPP diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP).
HPP diharapkan sebagai jaminan harga dari pemerintah untuk melindungi kaum petani dari kerugian. HPP merupakan patokan harga bagi petani untuk menjual hasil panen mereka. Jika pihak swasta membeli harga gabah/beras dibawah HPP, maka petani dapat menjual hasil panen mereka sesuai harga HPP ke pemerintah yang dalam hal ini melalui BULOG. Pembelian gabah/beras oleh BULOG merupakan jaminan pasar bagi produksi petani.
Dengan adanya jaminan pasar ini, diharapkan petani kita akan termotivasi untuk menanam padi serta meningkatkan produktivitas hasil panen mereka. Peningkatan produktivitas dengan sendirinya akan menjawab kekurangan produksi di dalam negeri yang selama ini terjadi. Kita tidak perlu impor lagi, kalau petani kita sudah termotivasi untuk menanam padi dan meningkatkan produktivitasnya. Untuk itulah, betapa pentingnya lembaga BULOG ini untuk menyerap hasil gabah/beras nasional petani dan menjaga motivasi mereka untuk terus menanam dan berproduksi.

C. PERAN DAN KENDALA BULOG DALAM PENGADAAN GABAH/BERAS NASIONAL

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan, tugas publik Bulog pertama adalah melakukan pembelian gabah dan beras dalam negeri pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP), yang kedua menjalankan program RASKIN dan terakhir yaitu mengelola cadangan beras pemerintah (CBP) untuk stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan. Tugas pengamanan HPP (sebelumnya menggunakan Harga Dasar) terus dilakukan sejak Bulog berdiri tahun 1967 sampai dengan saat ini Bulog menjadi sebuah Perusahaan Umum tahun 2003.
Pembelian gabah dan beras dalam negeri yang disebut sebagai pengadaan dalam negeri merupakan satu bukti keberpihakan Pemerintah (Perum BULOG) pada petani produsen melalu jaminan harga dan jaminan pasar atas hasil produksinya. Bulog diharapkan dapat menyerap gabah/beras sebanyak-banyaknya melalui fungsi pengadaannya. Pengadaan yang dilakukan Bulog harus berpedoman terhadap kebijakan perberasan yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini Instruksi Presiden (INPRES). Di dalam Inpres tersebut dimuat aturan ketentuan gabah/beras kualitas medium yang akan dibeli. Ketentuan pembelian untuk spesifikasi gabah/beras dalam negeri tersebut adalah :
a. Gabah Kering Panen (GKP) dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10% adalah Rp. 2.640,- per kilogram di petani atau Rp. 2.685,- per kilogram di penggilingan.
b. Gabah Kering Panen (GKP) dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp. 3.300,- per kilogram di petani atau Rp. 3.345,- per kilogram di gudang Bulog.
c. Beras dengan kualitas kadar air maksimum 14%, butir patah maksimum 20%, kadar menir maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95% adalah Rp. 5.060 per kilogram di gudang Bulog.

Penyerapan produksi Gabah Kering Giling (GKG) oleh Bulog telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi dalam lima tahun terakhir yaitu dari 54 juta ton pada tahun 2005 menjadi 63,8 juta ton pada tahun 2009. Dengan kenaikan hampir 10 juta ton selama lima tahun, menjadikan Indonesia kembali swasembada pangan. Peningkatan produksi selama tiga tahun terakhir menjadi semakin pesat dengan kisaran 5%/tahun. Sejak tahun 2008, Indonesia mengalami swasembada beras dan mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras nasional. Dengan keberhasilan dalam peningkatan produksi GKG ini, mengakibatkan Pemerintah (BULOG) sejak tahun 2008 tidak lagi mengimpor beras.
Lembaga BUMN ini membeli gabah/beras antara 2-3 juta ton/tahun atau 6-8% dari total produksi beras nasional. Pada era swasembada/surplus produksi, penyerapan gabah/beras oleh Bulog didorong hingga mencapai 10% atau sekitar 4 juta ton beras; Sejak terjadinya swasembada/surplus produksi beras periode 2008-2009, pemerintah terus mendorong peningkatan pengadaaan Bulog dari rata-rata 1,8 juta ton beras pada periode 2003-2007 menjadi 3,4 juta ton pada periode 2008-2009, atau meningkat 1,6 juta ton/tahun. Pengadaan beras/gabah setara beras biasa dilakukan Bulog pada musim panen raya yang mencapai 66%, musim panen gadu 30%, dan hanya 4% pada musim panen paceklik (Bulog, 2011).
Pada tahun 2010 dan 2011 iklim di Indonesia tidak bersahabat. Dimana terjadinya fenomena kebanjiran dan kemarau panjang, atau yang lebih dikenal dengan istilah “La Nina dan El Nino”. Keadaan ini membuat banyak terjadinya peristiwa kegagalan panen atau fuso di berbagai daerah di tanah air. Kegagalan panen atau fuso ini mengakibatkan menurunnya produksi padi nasional. Dengan menurunnya produksi padi nasional akan berkorelasi langsung terhadap penyerapan gabah/beras nasional oleh Bulog. Dengan kata lain target pengadaan Bulog yang ditetapkan oleh pemerintah tidak tercapai. Untuk memenuhi cadangan beras nasional karena kurangnya pasokan beras dalam negeri maka pemerintah mengambil kebijakan yaitu melakukan impor beras.
Menurut Sutarto, pada tahun ini 2011 Bulog terus mengupayakan realisasi impor beras untuk memenuhi cadangan beras nasional, realisasi kontrak beras dengan Vietnam sampai saat ini 500.000 ton dan tambahan kontrak dengan Thailand 300.000 ton (Kompas, 2011). Sambil terus menyerap produksi beras dalam negeri, baik langsung membeli beras dari para pebisnis dengan 20 persen harga di atas HPP (harga pembelian pemerintah), maupun dengan memanfaatkan penyerapan dari program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K).
Permasalahan lain yang dihadapi Bulog dalam melakukan penyerapan gabah dan beras dalam negeri adalah mengenai beragamnya kualitas gabah/beras petani kita. Beragamnya kualitas gabah/beras ini bisa disebabkan karena banyaknya jenis varietas yang ditanam petani seperti varietas aromatik atau unggul. Selain itu juga bisa disebabkan karena perbedaan musim panen apakah musim hujan atau kemarau.
Varietas aromatik atau unggul akan menghasilkan gabah/beras yang aromatik juga. Beras yang aromatik tentunya lebih mahal daripada beras dengan kualitas medium. Selain itu perbedaan musim panen akan menentukan hasil akhir beras yang dihasilkan. Gabah yang dipanen pada musim kemarau akan menghasilkan beras yang mempunyai tingkat kepatahan lebih sedikit karena mempunyai kadar air rendah dibandingkan gabah yang dipanen pada musim hujan. Kualitas beras yang dengan tingkat kepatahan lebih sedikit ini tentunya akan lebih mahal daripada dengan tingkat kepatahan yang lebih banyak. Beras yang aromatik dan tingkat kepatahan sedikit ini tidak bisa dibeli Bulog dengan mekanisme pembelian melalui HPP, karena disana disebutkan hanya untuk pembelian kualitas medium dengan kriteria tunggal saja.

D. STRATEGI KEBIJAKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH KE DEPAN

Kesulitan Bulog dalam melakukan penyerapan gabah/beras petani agar menjadi perhatian serius pemerintah dalam membuat strategi kebijakan perberasan. Bagaimana mungkin Bulog bisa membeli gabah/beras kualitas sesuai inpres jika harga HPP nya lebih rendah dari harga yang berlaku di petani. Dengan kata lain beras yang di pasaran lebih mahal daripada harga yang ditetapkan untuk membeli beras. Bulog tidak akan bisa berbuat banyak jika didalam Inpres tersebut hanya berlaku untuk pembelian kualitas tunggal. Bulog akan kesulitan untuk mengisi gudang-gudangnya di seluruh daerah, dan pada akhirnya akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Salah satu cara agar ketahanan pangan tidak terganggu jika kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi yaitu dengan melakukan impor. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita akan tergantung dari impor beras terus dari Negara lain untuk selamanya.
Oleh karena itulah, perlu suatu strategi kebijakan pembelian gabah/beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut Sawit (2010), Kebijakan yang sangat relevan untuk sekarang adalah melalui pembelian dengan harga multi kualitas. Pembelian multi kualitas disini dimaksudkan agar Bulog lebih mudah untuk membeli gabah/beras petani yang tidak seragam. Kombinasi Kriteria yang bisa diterapkan di lapangan adalah :
(1) Perbedaan kualitas beras menurut butir patah, yaitu beras patah 5% atau 25% tanpa butir menir
(2) Perbedaan musim panen, yaitu musim hujan atau musim kemarau
(3) Perbedaan varietas, yaitu varietas unggul atau varietas lokal/aromatik.

Tingkat HPP untuk butir patah 5%, dipanen pada musim kemarau karena biasanya pada musim ini gabah bisa dijemur dibawah sinar matahari sehingga didapatkan kadar air yang diinginkan. Dengan kadar air yang sesuai, maka ketika gabah digiling beras tidak banyak yang patah. Sedangkan varietas lokal/aromatik ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan beras berkualitas medium, karena varietas aromatik memiliki ciri khas kewangiannya.
Selain itu juga kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) harus ditingkatkan secara bertahap dari kualitas medium menjadi kualitas premium/super dengan tahapan:
(i) Pada tahun pertama, sepertiga jumlah CBP diisi oleh beras kualitas premium/super, dan
(ii) Pada tahun ketiga, seluruh CBP telah terisi dengan beras kualitas premium/super.

Dengan strategi pembelian multi kualitas diharapkan pengadaan Bulog melalui penyerapan gabah/beras dalam negeri bisa optimal. Wacana melakukan impor beras tidak akan terdengar lagi, dan kesejahteraan petani akan lebih meningkat karena adanya jaminan harga dan jaminan pasar melalui srategi pemerintah dengan instrument kebijakan harga pembelian gabah/beras pemerintah dengan multi kualitas.

E. PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI HPP

Jaminan harga di tingkat produsen memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan produksi karena sangat berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani. Jaminan harga ini diberikan pemerintah melalui kebijakan harga pembelian pemerintah yang dicantumkan pada inpres kebijakan perberasan. BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri dengan menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Disamping untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan pasar atas produksi petani.
Dengan adanya jaminan harga dan jaminan pasar petani akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil gabah/beras mereka. Jika harga jual gabah/beras di pasaran lebih tinggi daripada harga pembelian pemerintah, maka mereka akan menjual ke pasar. Tetapi jika harga di pasaran lebih rendah daripada harga yang dibeli pemerintah maka mereka akan menjual gabah/berasnya ke Bulog. Dengan mekanisme seperti ini wajarlah kiranya petani kita memiliki posisi tawar yang tinggi untuk menerima harga yang pantas bagi hasil jerih payah mereka sendiri.
Melalui HPP ini, diharapkan petani tidak perlu khawatir lagi akan nasib hasil panen mereka. Hasil panen mereka akan dibeli oleh pemerintah melalui Bulog. Dengan pembelian berdasarkan harga Inpres, diharapkan Bulog mampu menyerap sekitar 8% dari produksi gabah/beras nasional yaitu lebih kurang 4 juta ton dengan biaya sekitar 20 triliun rupiah. Dengan banyaknya uang yang beredar di masyarakat pedesaan tersebut, diharapkan roda perekonomian di desa akan berputar. Dengan demikian akan dapat memicu perkembangan sektor lainnya, hingga pada akhirnya akan mensejahterakan kehidupan petani itu sendiri.

F. PENGARUH HPP GABAH/BERAS TERHADAP NILAI TUKAR PETANI

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.

Secara umum NTP menghasilkan 3 pengertian :
a. NTP > 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar.
b. NTP = 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar.
c. NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar.

Nilai tukar petani padi di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan 2011 relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun dasar 2007, hal ini terlihat dari indeks nilai tukar petani yang diatas 100, yakni pada September 2011 adalah 105,17 persen. Walaupun secara umum kenaikan nilai tukar petani dari tahun ke tahun tersebut tidak signifikan atau terlalu kecil. Nilai ini didapat berdasarkan dari perbandingan barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.

Tabel 1. Nilai tukar petani padi bulan Desember 2010 - September 2011 (dalam %)

Bulan Des 2010 Jan 2011
Feb
Mar Apr Mei Juni Juli Aug Sep
NTP 102.75 103.01 103.33 103.32 103.91 104.50 104.79 104.87 105.11 105.17
Sumber : BPS 2011

Menurut Sunanto (2008), Rendahnya kenaikan nilai tukar tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah mengenai penetapan harga dasar (floor price) atau HPP gabah/beras yang selalu rendah. Memang dalam hal ini pemerintah dihadapkan dilema. Jika harga pembelian pemerintah ditetapkan agak tinggi maka dikhawatirkan masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang bukan petani mengalami penderitaan, karena kemudian tidak mampu membeli beras sesuai porsinya. Namun jika harga pembelian pemerintah ditetapkan rendah maka pihak petani yang menderita karena harga jual gabah atau berasnya yang dihasilkan rendah.

HPP yang terlalu rendah juga menyebabkan Bulog kesulitan menyerap gabah/beras petani ini terlihat dari pengadaan gabah/beras dalam negeri Bulog yang hanya mencapai 1,5 juta ton dari target 4,4 juta ton walaupun produksi nasional gabah kering giling mencapai 64 juta ton GKG.

Tabel 2. Realisasi pengadaan Bulog, Target Pengadaan dan Produksi GKG
Tahun Pengadaan Bulog (ton) Target Bulog
(ton) Produksi GKG*) ( ton )
Produksi
Beras (ton)
Rend. 63,5%
2011 1.493.645 4.400.000 65.385.183
41.519.591
Sumber : Diolah dari data,
1. Bulog realisasi sampai dengan November 2011
2. BPS angka ramalan (ARAM) III

Tabel 2 menunjukkan bahwa, dari 4,4 juta ton target yang ditetapkan pemerintah, Bulog hanya mampu menyerap 1,5 juta ton nya saja padahal produksi beras nasional sebanyak 41,5 juta ton. Realisasi pengadaan itu juga menunjukkan bahwa HPP yang ditetapkan pemerintah sudah dibawah dari harga jual gabah/beras petani di pasaran. Tetapi kenyataannya selama ini adalah realisasi dari kecilnya angka pengadaan tersebut tidak mencerminkan sejahteranya petani padi kita yang mana setiap tahunnya nilai tukar petani kita tidak lebih dari 1%.
Realita ini menunjukkan bahwa yang selama ini menikmati keuntungan besar adalah para tengkulak dan para pedagang besar yang memainkan harga. Karena semakin tinggi selisih harga ditingkat petani produsen padi dengan harga yang dibayar konsumen, maka semakin tinggi pula keuntungan yang diterima para tengkulak dan pedagang besar tersebut.
Untuk itu, perlu suatu inovasi kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan nilai tukar petani padi kita. Pemerintah harus memikirkan bagaimana caranya memotong panjangnya rantai distribusi dari produsen padi ke konsumen, sehingga dengan demikian petani kita dapat merasakan keuntungan yang wajar dari hasil jerih payah mereka.


G. PENUTUP

Strategi kebijakan perberasan pemerintah dengan pembelian gabah/beras multi kualitas akan memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas gabah/beras mereka. Dengan meningkatnya produktivitas dan kualitas tersebut diharapkan mereka akan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga jual hasil panennya. Harga yang pantas diterima petani mengartikan bahwa petani kita sudah memikirkan keuntungan daripada hasil jual gabah/beras mereka. Keuntungan yang diperoleh petani inilah yang pada akhirnya nanti dapat mensejahterakan kehidupan para petani padi itu sendiri.
Keuntungan ini hendaknya terus menerus dari tahun ke tahun, karena dengan keuntungan ini petani akan banyak mengeluarkan uangnya tersebut untuk konsumsi atau berbelanja yang lainnya. Dengan pengeluaran konsumsi untuk barang lainnya, akan memicu perkembangan di sektor lain dan membuat roda perekonomian berputar, sehingga tidak hanya petani padi yang sejahtera tetapi lapisan masyarakat lain yang berada di pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Amang, B. dan H. Sawit. 1999. Kebijakan Pangan dan Beras Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (dalam Ria Kusumaningrum. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Bogor).

Badan Pusat Statistik. 2011. Data dan Jumlah Persentases Penduduk Miskin di Indonesia. www.bps.go.id. Jakarta.

Khrisnamurthi, B. 2002. Pendahuluan. Prosiding Seminar Tekanan penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan. Bogor. (dalam Ria Kusumaningrum. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Bogor).

Perum Bulog. 2011. Statistik Data Operasional Bulog. Http://www.bulog.co.id

Presiden Republik Indonesia. 2009. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Perberasan. Jakarta. 29 Desember 2009.


Riyadi, D. M.M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Prosiding seminar: Tekanan penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Studi Pembangunan dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan. Bogor. (dalam Ria Kusumaningrum. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Bogor).

Sawit, Husein M. 2010. Reformasi Kebijakan Harga Produsen dan Dampaknya Terhadap Daya Saing Beras. [Artikel JER - No. 108/7 - 2010-07-10].
Sunanto. 2008. HPP Gabah dan Beras Dinaikkan; Kenaikan Nilai Tukar Produk Pertanian Tetap Rendah. http://c-tinemu.blogspot.com/2008/04/hpp-gabah-dan-beras-dinaikkan-kenaikan.html
Sutarto. Bulog Optimistis Stok Beras Akhir Tahun 1,5 Juta Ton. Selasa, 25 Oktober 2011. Jakarta, Http://www.kompas.com

No comments:

Post a Comment

komentar