Friday 4 November 2011

RUU Pangan Jangan Korbankan Beras Pemersatu Bangsa

RUU Pangan Jangan Korbankan Beras Pemersatu Bangsa

Bagi rakyat Indonesia, beras sudah menjadi komoditas pemersatu bangsa.


Dengan kata lain, beras adalah common language bagi semua suku di Nusantara. Saking pentingnya peranan beras, kontrol harga dan distribusi -bahkan produksi - dari komoditas tersebut harus tetap dikuasai pemerintah pusat. Karena itu, menurut pengamat ekonomi pertanian dan pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar, desentralisasi pangan seperti yang terangkum dalam RUU Pangan, tidak boleh mengorbankan fungsi beras sebagai pemersatu bangsa. �Bagi rakyat Indonesia, pangan utama berupa beras tidak bisa diganti, hanya bisa dikurangi,� ungkapnya.


Untuk merubah pola konsumsi masyarakat terhadap beras pun tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat,� ujar guru besar yang juga wakil Rektor IPB itu.


Dalam urusan perberasan tersebut, Hermanto merasakan hal yang membahayakan terkait RUU Pangan. Beberapa waktu lalu, anggota DPR dari Panja RUU Pangan mengungkap bahwa dalam regulasi anyar soal pangan itu terkandung misi memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pangan. Maksudnya agar potensi pangan daerah bisa tergali dalam rangka memperkuat ketahanan pangan di daerah.


Menurut Hermanto, boleh-boleh saja kewenangan pemerintah daerah soal pangan ditingkatkan, namun pemerintah pusat tetap harus mengontrol kebijakan pangan, terutama terkait komoditas pangan utama seperti beras. �Ketahanan pangan harus tetap menjadi wewenang pusat,� ujarnya.


Karena itu, menurut Hermanto, urusan pangan tidak boleh diserahkan 100% ke pemerintah daerah. Hermanto menilai, sumberdaya manusia di daerah masih sangat terbatas. Begitu juga, kapasitas institusi daerah pada umumnya jelek. Oleh sebab itu, ia meragukan kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola pangan secara mutlak. �Menggali potensi pangan lokal memang penting. Namun kalau diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah, saya ragu mereka mampu menanganinya secara baik dan benar. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengelola komoditas pangan dengan baik,� ungkapnya.


Itu baru mengurus komoditas pangan lokal. Apalagi jika diberi wewenang mengurus komoditas pangan utama, seperti beras. Dalam urusan distribusi dan menjaga stabilitas harga, menurut Hermanto, kompetensinya masih ada pada Bulog, yang sudah didukung dengan sarana dan prasarana lengkap hingga ke pelosok Tanah Air. �Pemerintah daerah tidak akan mampu melakukan utilisasi instumen distribusi dan kontrol harga seperti yang sudah dilakukan Bulog,� katanya.


Guru besar Ekonomi Pertanian/Agribisnis Universitas Gajah Mada, Masyhuri juga menyatakan keberatannya terhadap konten RUU Pangan, yang mengindikasikan pengalihan wewenang dalam mengelola pangan kepada pemerintah daerah. �Saya tidak setuju jika urusan pangan 100% diserahkan ke daerah,� tegasnya.


Masalahnya, dengan konsep desentralisasi pangan membabi buta, maka tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan malah tidak tercapai. �Yang terjadi justru makin suburnya liberalisasi pangan. Maksudnya supaya pengelolaan pangan tidak terbawa arus liberalisasi, eh malah semakin liberal,� ungkap Masyhuri.


Alasannya, pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah akan membuka pintu liberalisasi lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable.


Desentralisasi pangan, menurut Masyhuri, akan menciptakan ketidak seragaman dalam pengelolaan pangan. �Ada pemda yang protektif , namun ada pula yang liberal,� ucapnya. Kondisi demikian bakal menciptakan ketidakstabilan di level nasional.


Hermanto Siregar.

Sumber : inilah.com

1 comment:

komentar