NASIONALISME MEROSOT, HARGA SEMBAKO MEROKET
*) Julkhaidar Romadhon
Kenaikan harga pangan/sembako yang
tidak wajar merupakan indikasi merosotnya rasa dan jiwa nasionalisme pada
bangsa Indonesia.
Momen perayaan kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke 68 pada tahun ini sangatlah spesial, hal ini karena berada pada bulan syawal dimana umat islam
masih merasakan suasana idul fitri atau lebaran. Suasana ini lebih terasa
istimewa lagi, dikarenakan anak-anak belum masuk sekolah dikarenakan masih
dalam suasana liburan. Tentu lomba-lomba yang akan diadakan untuk memperingati
HUT RI di sekitar lingkungan rumah akan terasa lebih hidup lagi dan lebih
bersemangat. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menanamkan dan menimbulkan rasa
dan jiwa nasionalisme yang tinggi pada setiap diri mereka.
MEROSOTNYA NASIONALISME
Rasa dan jiwa nasionalisme memang
perlu ditumbuhkan oleh seluruh bangsa Indonesia, tidak terkecuali dari
anak-anak sampai orang tua. Rasa serta jiwa mencintai bangsa dan Negara
Indonesia haruslah dalam artian luas dan berbagai aspek kehidupan, bukan hanya dikala Negara dalam keadaan
perang. Akhir-akhir ini memang rasa dan jiwa nasionalisme rakyat Indonesia
sedang dipertanyakan.Maraknya pemberitaan di televisi yang menyatakan bahwa
penjualan bendera merah putih merosot dari tahun sebelumnya merupakan indikasi merosot/memudarnya rasa
nasionalisme. Pemberitaan tersebut memang belum tentu menjadi cermInan, tetapi
yang perlu menjadi perhatian dan cerminan bersama adalah maraknya
pemberitaanlainnya di televisi mengenai kasus korupsi yang melanda seluruh
instansi dan lapisan masyarakat di negeri ini. Oknum-oknum yang melakukan
tindakan korupsi tersebut seolah-olah tidak merasa bersalah dan berdosa,
walaupun sejatinya uang yang mereka ambil adalah uang saudara mereka sendiri,
uang sesama anak bangsa. Tidak tanggung-tanggung, uang yang mereka korup
mencapai milyaran bahkan triliunan. Korupsinya juga tidak sendirian bahkan ada
yang berkelompok atau yang sering trend dengan istilah korupsi berjamaah.
Sosialisasi empat pilar kebangsaan
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Undang-Undang Dasar
(UUD 1945) dan Bhineka Tunggal Ika yang dilakukan oleh
MPR/DPR sangatlah tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar kebangsaaan jika dihayati dan
diamalkan tentunya akan meningkatkan
jiwa dan rasa nasionalisme pada setiap diri anak bangsa. Jiwa dan rasa
nasionalisme yang tinggi pada setiap warga Negara Indonesia tentunya akan
membuat mereka merasa malu untuk melakukan hal-hal yang menyimpang/menyeleweng
terhadap Negara. Semua ini tentu akan terwujud jika para pemimpin level pusat
seperti Presiden, MPR/DPR, Menteri hinga ke level daerah yaitu gubernur,
walikota, camat hingga lurah memberikan contoh yang baik pada bawahan atau
rakyatnya. Tetapi jika para pemimpin tersebut memberikan contoh yang tidak baik
maka kebalikannya akan terjadi seperti sekarang dimana korupsi merajalela.
Wajar jika korupsi dimasukkan ke
dalam golongan kejahatan luar biasa “extra ordinary crime”, dikarenakankorupsi
lebih berbahaya dari kejahahatan lainnya seperti mencuri dan merampok walaupun
sama-sama menimbulkan kerugian. Korupsi akan menimbulkan korban banyakorang yaitu
rakyat, bayangkan jika uang yang dikorupsi adalah untuk pembangunan jalan,
jembatan, sekolah hinggarumah ibadah
apalagi untuk pangan, tentu sungguh mengerikan.
MEROKETNYA HARGA PANGAN
Enam puluh delapan tahun sudah negeri ini merdeka, pemimpin silih
berganti tetapi persoalan naiknya harga pangan sampai sekarang masih ada saja. Kenaikan tersebut mulai dari harga gula,
kedele, minyak goreng, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabe merah
hingga yang terbaru adalah daging sapi atau entah bahan bahan makanan apalagi
yang bakal naik tinggal kita tunggu saja. Kenaikan harga bahan pangan tentunya
dapatdimaklumi bersama jika memang produksi di dalam negeri tidak mampu mencukupi konsumsi di dalam negeri,
tetapi sebalikya kita tidak akan terima jika produksi dalam negeri cukup tetapi
harga masih terus meningkat, begitu juga jika keran impor telah dibuka tetapi
harga masih tetap tinggi. Tingginya harga pangan walaupun produksi mencukupi
dan keran impor telah dibuka menunjukkan ada ketidak beres dalam rantai
tataniaga, baik di tingkat produsen, pengumpul, pengecer, pedagang, importir
hingga pemerintah selaku pembuat kebijakan juga memberikan andil. Semuanya
mencari kesempatan dalam kesempitan, mencari keuntungan berlipat, menyempitkan
jiwa nasionalisme, memperlebar jiwa kapitalisme.
Naiknya bawang merah dan bawang putih
pada beberapa bulan yang lalu dapat menjadi contoh konkret. Harga bawang yang
melambung bisadimaklumi karena memang produksi petani tidak mencukupi akibat
terkendala cuaca. Tetapi sungguh tidak dapat kita terima ketika keran impor
sudah dibuka tetapi harganya masih tinggi dan tidak kunjung menurun.
Praktik-praktik kotor/menyimpang yang dilakukan oknum importir terbukti ketika
ditemukannya ratusan kontainer berisi ribuan ton bawang merah dan putih
menumpuk di pelabuhan. Mereka seolah-olah dikomando agar tidak segera mengguyur
pasar dengan bawang impor tetapi hanya menahan stoknya agar bawang tetap langka
dan mengarapkan agar harga terus melambung tinggi. Oleh karena itulah sekarang
pemerintah memerintahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk
menyelidiki adanya kartel pada impor bawang ini.
Bahan pangan yang menjadi contoh
konkret lainnya adalah pada kasus harga daging sapi. Tingginya harga daging
sapi sebelum lebaran yang mecapai Rp 100
ribu/kg lebih bahkan ketika lebaran yang malah menembus angka Rp 140 ribu/kg
lebih dibandingkan harga normal Rp 70-80 ribu/kg juga menunjukkan
ketidakberesan dalam praktik tataniaga pertanian. Mulai dari produsen sapi yang
menahan sapi hidupnya untuk dijual, pedagang daging sapi yang seenaknya
menaikkan harga, importer yang menahan stok dagingnya di pelabuhan hingga
pemerintah yang kong kali kong dalam penetapan kuota impor. Semua praktik ini
bukanlah isapan jempol dan terbukti ketika semuanya tertangkap tangan oleh KPK
dan terbongkar di depan sidang pengadilan.
Praktik kotor seperti kartel juga
terindikasi dari meroketnya harga daging sapi belakangan.Hal ini terlihat
ketika impor daging beku BULOG dari Australia serta impor sapi hidup oleh
pemerintah tidak dapat menahan tingginya laju kenaikan daging sapi di seluruh
daerah di Indonesia. Target pemerintah yang digadang-gadang dapat menstabilkan
harga daging sapi menjelang lebaran di kisaran harga normal Rp 75 ribu/kg tidak
terbukti, justru harga malah mendekati dua kali lipatnya. Tingginya animo
masyarakat mengkonsumsi daging setahun sekali saat lebaran, sangat dimanfaatkan
para pedagang yang mempunyai rasa nasionalisme sempit untuk memburu rupiah sebanyak-banyaknya.
PERAN PENTING PEMERINTAH
Ditengah merosotnya nilai-nilai
nasionalisme pada diri anak bangsa akhir-akhir ini peran pemerintah sangatlah
diperlukan. Nilai-nilai kapitalisme yang mempunyai prinsip untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan biaya seminimum mungkin haruslah
dilawan. Prinsip kapitalisme tersebut sepertinya sudah masuk ke dalam seluruh
pelaku usaha di dalam rantai tataniaga pertanian, baik dari produsen sampai
pedagang. Pemerintah tidak bisa
membiarkan proses supply dan demand sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi.
Jikalau ini terus dibiarkan maka akan terjadi distorsi pasar dimana harga akan
terus melambung akibat ketidakseimbangan antara permintaan dengan penawaran.
Pemerintah harus mengeluarkan
kebijakan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan supply dan demand yang terjadi,
dengan kata lain pemerintah harus melakukan intervensi jikalau terjadi
ketidakseimbangan pasar. Walaupun di negeri ini tidak adalagi lembaga
pemerintah yang secara khusus mengatur supply dan demand suatu barang kebutuhan
pokok, tetapi pemerintah bisa memberikan kewenangan lebih kepada perusahaan
swasta Negara atau badan usaha milik Negara (BUMN) yang dalam hal ini dianggap
swasta. Keuntungan yang didapatkan oleh BUMN tentunya akan kembali kepada
Negara, hal ini sangat berbeda dengan perusahaan swasta murni dimana
keuntungannya hanya untuk pribadi, sekelompok orang atau pemegang saham.
Perusahaan swasta murni tentu lebih mengejar laba yang tinggi tanpa memikirkan
dampak yang diakibatkannnya. Mereka akan menerapkan berbagai macam strategi
agar perusahaan mengeluarkan biaya yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Fenomena inilah sebenarnya yang sedang terjadi pada mekanisme
pasar di negeri ini, walaupun stok barang tersedia namun harga tidak kunjung
turun atau normal seperti sediakala.
Perimbangan kekuatan dari pemerintah
sebagai kompetitor untuk melawan ketidakseimbangan pasar harus segera
direalisasikan. Pemerintah tidak boleh ragu-ragu ataupun setengah hati dalam
memberikan kewenangan lebih kepada perusahaan BUMN yang bergerak di bidang
pangan. Dengan adanya kewenangan lebih tentunya akan terjadi perimbangan
kekuatan sehingga terjadi titik keseimbangan yang dinilai wajar.
Pengusaha-pengusaha nakal yang hanya mengejar keuntungan semata akan merasa
takut untuk menaikkan harga barang semaunya, karena mereka sudah mendapatkan
kompetitor yang seimbang. Apalagi mereka mau melakukan praktik kotor seperti
menimbun barang untuk mengharapkan harga tinggi akibat kelangkaan barang yang
terjadi di pasar, tentu mereka akan berpikir berpuluh-puluh kali.
Bentuk konkret praktik-praktik
kecurangan yang terjadi di pasar dalam negeri bisa kita lihat pada momen-momen
menjelang lebaran. Pada saat itu, antusiasme masyarakat untuk mengkonsumsi
sedang tinggi-tingginya, mereka tidak lagi memperdulikan tingginya harga
dikarenakan momen tersebut terjadi hanya satu tahun sekali. Seperti pada harga
daging, mesti harganya sudah hampir dua kali lipat dari harga normal,
masyarakat tidak ambil pusing mereka tetap saja membeli walaupun dalam jumlah
sedikit. Pelaku usaha di bidang tersebut sangat diuntungkan dengan menaikkan
harga seenaknya, dengan alasan berbagai macam dan anehnya keadaan ini kompak
sampai ke seluruh pasar-pasar kota besar. Melihat fenomena seperti ini
pemerintah tentunya akan bertindak cepat untuk mengantisipasi lonjakan harga
tersebut. Pemerintah memberikan wewenang kepada BULOG untuk melakukan impor
daging dengan tujuansebagai kompetitor penyeimbang harga. Dengan berbekal kuota impor daging beku hanya
8.000 ton dari Australia tentunya BULOG tidak dapat berbuat banyak untuk
menurunkan harga. Walaupun harganya Rp 75 ribu/kg jauh dibawah normal, tetapi
karena penyebarannya tidak merata diseluruh pasar dan daerah, harga tetap tidak
bergeming diangka Rp 100 ribu/kg.
Ditambah lagi isu ke halalan daging beku impor yang dihembuskan pedagang
ke masyarakat tentu semakin membuat operasi pasar daging beku oleh BULOG
semakin tidak efektif.
Intervensi pemerintah melalui BUMN
oleh BULOG seharusnya di dukung penuh bukan setengah hati. Pemerintah tidak
hanya memberikan dukungan kepada BULOG agar lebih proaktif dalam melakukan
impor seperti impor daging dari Australia, tetapi juga harus mendukung langkah
serta strategi apa yang akan diambil BULOG dalam rangka melaksanakan
stabilisasi harga daging. Impor memanglah langkah terakhir dan darurat yang
dilakukan pemerintah untuk menstabilkan harga, tetapi jika BULOG hanya
diberikan porsi dengan jumlah kecil dibandingkan para importer lain semuanya
seperti menabur garam di lautan. Tentunya operasi pasar yang dilakukan BULOG
tidak akan efektif, dan justru kelembagaan BULOG dipertaruhkan dan
dipertanyakan keberadaannya. Pemerintah seharusnya memberikan kuota impor yang
kira-kira dianggap mampu bersaing dengan importer lain dan mampu mengintervensi
harga di pasar, sehinga dengan demikian tujuan akhir untuk menstabilkan harga bisa terwujud.
PENUTUP
Kenaikan harga pangan yang terus
menerus dan silih berganti telah membukakan mata kita semua tentang pentingnya
ketahanan pangan. Urusan pangan tidak bisa dianggap remeh dan sebelah mata
karena menyangkut keberlanjutan hidup orang banyak. Seluruh sektor kehidupan
akan terganggu bahkan berhenti jikalau pangan tidak tercukupdani Negara akan menjadi kacau. Sebagai bahan perbandingan adalah kasus
bawang merah dan putih yang bukan makanan pokok dan hanya sedikit sekali
penggunaannya saja, sudah dapat memicu inflasi yang tinggi dan membuat
pemerintah kebingungan, apalagi beras dan makanan pokok lainnya. Semua ini
akhirnya mengingatkan kita kembali akan pentingnya lembaga pemerintah yang
berfokus pada urusan pangan. Badan Otorisasi Pangan (BOP) harus segera
direaliasisikan secepatnya, agar terjadi kesinkronan antara kebijakan dengan
tindakan. Hendaknya badan ini diisi oleh orang-orang yang profesional dan telah
lama mengurusi masalah pangan di tanah air kita ini. Sehingga mereka bisa merumuskan kebijakan
yang komprehensif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang mencakup dari
hulu sampai ke hilir. Jika sudah terjadi kesinkronan seperti itu cita-cita
pemerintah dan kita bersama untuk mencapai kemandirian pangan akan terwujud.
Untuk itu mari kita beri dukungan bersama akan lahirnya lembaga baru yang
bernama Badan Otorisasi Pangan demi tercapainya Negara yang berdaulat atas
pangan. Dirgahayu negeriku…. Dirgahayu
bangsaku… Merdeka….
*) Divre Sumatera Selatan